ATONEMENT : Penebusan Dosa

ATONEMENT

Penebusan Dosa

Oleh: Abdul Qoyyum Rusgandi

Doktrin agama Kristen tentang Penebusan dosa pada masa kini, yang adalah bahwa Yesus menyerahkan hidupnya diatas tiang salib untuk menebus dosa-dosa yang lain dan bahwa seseorang dapat mencapai surga dengan mempercayai faham penebusan dosa ini, adalah berdasarkan sangkaan dosa Adam. Kenyataannya, Hawa dapat lebih dipertahankan dari pada Adam sesuai dengan Bibel ketika ia membujuk Adam untuk memakan “buah” terlarang.

Bibel mengatakan :

Manusia itu menjawab : ” Perempuan yang Kautempatkan disisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan “. ( Kejadian 3 : 12 ).

Untuk menghadirkan /menggambarkan Yesus sebagai orang yang tidak berdosa disebabkan dia tidak mempunyai ayah, membuat hal itu lebih dipertanyakan, sebagaimana Yesus telah lahir hanya dari seorang wanita dan dan ia adalah wanita, menurut Bibel, yang telah memberikan buah terlarang kepada Adam. Dan lagi, apakah yang dikatakan Bibel mengenai seseorang yang lahir dari seorang perempuan ?

Lagi-lagi Bibel mengatakan :

” Bagaimana manusia benar dihadapan Allah, dan bagaimana orang yang dilahirkan perempuan itu bersih ? ” ( Ayub 25 : 4 ).

Kepercayaan terhadap penebusan dosa berdasarkan / bersandarkan atas dugaan bahwa setiap manusia adalah berdosa. Bibel membantah faham ini. Beberapa orang telah disebutkan benar seperti zakaria dan isterinya, Elisabet.

“Pada zaman Herodes, raja Yehuda, adalah seorang imam yang bernama Zakharia dari rombongan Abia. Isterinya juga berasal dari keturunan Harun, namanya Elisabet.

Keduanya adalah benar dihadapan Allah dan hidup menurut segala perintah dan ketetapan Tuhan dengan tidak bercacat “. ( Lukas 1 : 5-6 ).

Misi Yesus adalah kepada bangsa Israel, sebagaimana beliau sendiri jelaskan ( Matius 15 : 22 – 24 ), masalah mengenai taubat / penebusan dosa untuk semua orang yang berdosa tidak timbul, lebih jauh lagi, jika kematian diatas tiang salib telah dirihoi Tuhan, jika hal itu alat pembebasan manusia , ia tidak akan berusaha berdoa untuk pertolongan dimalam sebelum penyaliban.

Bibel mengatakan :Kira-kira jam tiga /10 berserulah Yesus dengan suara nyaring : ” Eli, Eli lama sabakhtani ? “Artinya : Allahku, Allahku mengapa Engkau meninggalkan Aku. ( Matius 27 : 46 ).

Kenyataannya adalah bahwa Yesus tidak mati diatas salib dan menyayangkan penghambaan ini.Demikianlah, bahwa tidak ada dasar mengenai doktrin penebusan dosa.

Perjanjian Lama menceritakan jalan-jalan dan maksud-maksud yang berbeda yang dapat membawa pengampunan dosa. Hal ini menunjukkan bahwa faham pengampunan dan keselamatan dari tiang salib hanya melalui kepercayaan kematian Yesus diatas salib, hal ini tidak didukung Bibel. Bibel mengatakan :

” Dan umatKu, yang atasKu namanya disebut, merendahkan diri, berdoa dan mencari wajahKu, lalu berbalik dari jalan-jalannya yang jahat, maka Aku akan mendengar dari sorga dan mengampuni dosa mereka, serta memulihkan negeri mereka “. ( II Tawarikh 7 : 14 ).

Bibel menunjukkan bahwa ada beberapa macam perbedaan dosa. Beberapa diantara dosa-dosa itu tidak akan diampuni seluruhnya. Hal ini juga bertentangan dengan kepercayaan penebusan dosa.

Bibel mengatakan :

” Sebab itu Aku berkata kepadamu : segala dosa dan hujat manusia akan diampuni, tetapi hujat terhadap Roh Kudus tidak akan diampuni “. ( Matius 12 : 31 ).

Hal ini ditekankan lebih jauh lagi didalam Bibel bahwa setiap orang akan menanggung /memikul bebannya sendiri.

” Baiklah tiap orang memuji pekerjaannya sendiri:; maka ia boleh bermegah melihat keadaannya sendiri dan bukan melihat keadaan orang lain.

Sebab tiap-tiap orang akan memikul tanggungannya sendiri “. ( Galatia 6 : 4-5 ).

“Setiap orang akan mati atas dosanya sendiri”. Berkata Hukum Bibel yang Yesus tidak datang untuk mengganti :

” Tetapi anak-anak mereka tidak dihukum mati olehnya, melainkan ia ( Amazia ) bertindak sesuai dengan apa yang tertulis dalam Taurat, yakni kitab Musa, di mana TUHAN telah memberi perintah : ” janganlah ayah mati karena anaknya, janganlah juga anak mati karena ayahnya, melainkan setiap orang harus mati karena dosanya sendiri.” ( II Tawarikh 25 : 4 ).

Didalam Yehezkiel, cara hukuman ini telah disebutkan dalam firman ini :

” Orang yang berbuat dosa, itu yang harus mati. Anak tidak akan turut menanggung kesalahan ayahnya dan ayah tidak akan turut menanggung kesalahan anaknya. Orang benar akan menerima berkat kebenarannya, dan kefasikan orang fasik akan tertanggung atasnya.

Tetapi jika orang fasik bertobat dari segala dosa yang dilakukannya dan berpegang pada segala ketetapanKu serta melakukan keadilan dan kebenaran, ia pasti hidup, ia tidak akan mati”. ( Yehezkiel 18 : 20 – 21 ).

Bibel sangat terang-terangan dan dengan kuat telah meletakkan suatu kondisi bahwa seseorang harus memaafkan yang lainnya dengan tujuan supaya diampuni oleh Tuhan. Dalam dogma, teori, atau doktrin apapun seseorang dapat percaya, seseorang harus bertindak : seseorang harus memaafkan yang lainnya dengan tujuan supaya diampuni oleh “Bapa yang ada di sorga”.

Bibel mengatakan :

“Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang disorga akan mengampuni kamu juga.

Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu”. (Matius 6 : 14 – 15 ).

Beberapa doktrin yang kontradiksi diatas tidak mendatangkan maksud Yesus . Ajaran-ajaran Bibel ini membantah doktrin penebusan dosa dan menunjukkan bahwa hal itu tidak menghadirkan pendirian Yesus yang benar.

MUKZIZAT/ MIRACLE

MUKZIZAT/ MIRACLE

Oleh: Abdul Qoyyum Rusgandi

Para Nabi menampakan mukzizat-mukzizat sehingga orang-orang yang liar dan sesat bisa dibimbing dari keadaan yang nista kepada keadaan yang penuh keyakinan akan Tuhan. Penampakan mukzizat-mukzizat itu bukan hal yang aneh bagi Yesus, dan nabi yang lain pun memperlihatkan kekuatan keajaiban-keajaiban Tuhan. Menurut Bibel, bukan hanya Yesus, tetapi juga nabi yang lain pun menghidupkan orang yang sudah mati untuk bisa hidup kembali. Elisha adalah salah seorang dari antara para Nabi tersebut.

Dan ketika Elisa masuk ke rumah, ternyata anak itu sudah mati dan terbaring di atas tempat tidurnya.

Sesudah itu ia berdiri kembali dan berjalan dalam rumah itu sekali kesana dan sekali kesini, kemudian meniarap pulalah ia diatas anak itu. Maka bersinlah anak itu sampai tujuh kali, lalu membuka matanya.(II Raja-raja 4: 32, 35)

Ini hanya merupakan suatu perumpamaan ketika dikatakan bahwa yang mati akan hidup lagi. Arti hidup disini mengandung maksud kehidupan kerohanian. Hidup digambarkan sebagai keyakinan kepada Tuhan yang Esa

Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus.(Yohanes 17: 3)

Berikut ini penggunaan kata mati dengan sangat indah menggambarkan karakter kematian itu:

Tetapi Yesus berkata kepadanya, “Ikutlah Aku dan biarlah orang-orang mati menguburkan orang-orang mati mereka.” (Matius 8: 22)

Kata sakit diungkapkan secara metafora dalam Bibel.

Pada waktu ahli-ahli Taurat dari golongan Farisi melihat bahwa ia makan dengan pemungut cukai dan orang berdosa itu, berkatalah mereka kepada murid-murid-Nya: “mengapa Ia makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?

Yesus mendengarnya dan berkata kepada mereka: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit, Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.”(Markus 2: 16 – 17)

Selain Yesus para rasul yang lain pun pernah dikabarkan bisa menyembuhkan orang yang sakit. Elijah mengobati Naaman dari penyakit kusta.

Maka turunlah ia membenamkan dirinya tujuh kali dalam sungai Yordan, sesuai dengan perkataan abdi Allah itu lalu pulihlah tubuhnya kembali seperti tubuh seorang anak dan ia menjadi tahir. (II Raja-raja 5: 14)

Para Nabi yang lain juga menampakkan mukzizat-mukzizat. Yesus, Bibel mengatakan, Yesus berjalan di laut. Bibel juga menyebutkan Elia telah membelah air.

Lalu Elia mengambil jubahnya, digulungnya, dipukulnya ke atas air itu, maka terbagilah air itu ke sebelah sini dan kesebelah sana, sehingga menyebranglah keduanya dengan berjalan di tanah yang kering. (II Raja-raja 2: 8)

Yesus memerintahkan kepada para muridnya untuk menghidupkan orang yang telah mati:

Sembuhkanlah orang sakit, bangkitkanlah orang mati, tahirkanlah orang kusta, usirlah setan-setan. Kamu telah memperolehnya dengan Cuma-Cuma, karena itu berikanlah pula dengan Cuma-Cuma. (Matius 10: 8)

Yesus juga berkata:

Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh kepercayaan, kamu akan menerimanya. (Matius 21: 22)

Di tempat lain Yesus lebih lanjut berkata:

Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata pada gunung ini: Pindah dari tempat ini kesana, maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada ynag mustahil bagimu. (Matius 17: 20)

Bahkan Yesus menjamin para penganutnya bahwa mereka bisa mengerjakan perbuatan yang lebih besar dari apa yang sudah dikerjakan.

Aku berkata padamu: sesungguhnya barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar daripada itu, sebab Aku pergi kepada Bapa; dan apa juga yang kamu minta dalam namaKu, Aku akan melakukannya, supaya Bapa dipermuliakan di dalam Anak. Jika kamu meminta sesuatu kepadaKu dalam namaKu, Aku akan melakukannya. (Yohanes 14: 12 – 14)

Dari pendahuluan ayat-ayat Bible menjelaskan bahwa mati secara fisik tidak pernah bisa dihidupkan kembali oleh seseorang. Jika hal ini bisa terjadi, maka seorang pengikut Yesus tentu akan sanggup menghidupkan orang yang sudah mati dari kuburan. Akan tetapi, mukzizat besar yang pernah ditampakkan adalah dengan menghidupkan kerohanian orang yang sudah mati. Kehidupan para Nabi memberikan banyak contoh-contoh mukzizat yang menakjubkan.

Sikap terhadap Pemeluk Agama dan Kepercayaan Lain.

Sikap terhadap Pemeluk Agama dan Kepercayaan Lain.

Oleh : Dildaar Ahmad

a. Ketegasan Dalam Berakidah

“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengambil bapak-bapakmu dan saudara-saudara laki-lakimu menjadi sahabat jika mereka lebih mencintai kekufuran daripada keimanan. Dan barangsiapa di antaramu bersahabat dengan mereka, maka mereka itu orang-orang aniaya.” (Surah At-Taubah: 23)

Hadhrat Khalifatul Masih IV rohmatullah ‘alaihi., Mirza Tahir Ahmad menafsirkan ayat ini sebagai khusus membicarakan jenis keluarga yang di antara mereka sikap permusuhannya terhadap Allah Ta’ala, Rasul-Nya dan agama-Nya sedemikian rupa kerasnya. Nasihat yang berkaitan dengan menjaga hubungan baik dengan keluarga sebatas mereka tidak menunjukkan sikap permusuhan terhadap akidah agama yang diimani.

Allah Ta’ala tidak melarang menjaga hubungan baik dengan orang-orang yang tidak menentang kebenaran secara terang-terangan. Sebaliknya, bagi mereka yang nyata dan terang-terangan menentang kebenaran, ada keharusan memutuskan hubungan dengan mereka. Kalau tidak, dalam pandangan Allah orang tersebut termasuk mereka yang menentang itu.[1]

Keyakinan akan keselamatan lewat jalan Islam juga mempunyai konsekuensi logis berupa menghindari sikap-sikap munafik seperti mengiyakan begitu saja (mudaahanah) pernyataan orang yang berbeda kepercayaan. Kendatipun kita perlu menghindari suburnya pengakuan akan kebenaran pandangan beragamanya sendiri yang memicu pertengkaran dan diskriminasi. Klaim kebenaran dalam arti menyakini dan menyampaikan kebenaran atau mengklarifikasi anggapan yang tidak sesuai dengan keyakinan masing-masing tetap diperlukan dengan mengedepankan etika, sopan satun dan tata krama. Hadhrat Masih Mau’ud bersabda sebagai berikut:

“Adalah wajib bagi manusia untuk tidak bersikap munafik. Misalnya jika ada seorang Hindu apakah itu penguasa atau pun pejabat mengatakan bahwa Raam dan Rahiim itu satu adanya, maka pada kesempatan seperti itu janganlah mengiya-iyakan saja. Allah Ta’ala tidak melarang kita dari peradaban atau tata krama. Berikanlah jawaban yang sesuai dengan tata-krama. Hikmah itu bukanlah berarti supaya kita melakukan pembicaraan yang tanpa sebab menimbulkan amarah serta peperangan. Janganlah sekali-kali menyembunyikan keimanan. Dengan cara mengiya-iyakan, manusia itu bisa menjadi kafir. Hendaknya kita harus menjaga dan memelihara ‘perasaan’ Allah Ta’ala. Di dalam agama kita tidak terdapat hal-hal yang bertentangan dengan peradaban.”[2]

b. Dialog Sebagai Salah Satu Proses Solusi

Seorang ilmuwan Muslim Ahmadi Indonesia, Soekmana Soma menganjurkan sikap ilmiah yang dipraktekkan para ilmuwan guna menghadapinya. Dalam kehidupan ilmiah belum pernah terjadi kasus pertengkaran antar ilmuwan karena hipotesis atau penemuannya dibantah atau dipatahkan oleh ilmuwan lainnya. Belum pernah terjadi sekelompok ilmuwan di dalam sebuah wadah majelis ilmuwan, baik dalam skala internasional, nasional maupun lokal bersama-sama menyatakan penelitian seseorang sebagai sesat dan menyesatkan serta harus dilarang.[3]

Soekmana Soma juga menganjurkan dialog yakni, pertukaran dan diskusi ide-ide, khususnya dalam rangka mencari pengertian bersama atau mencapai keadaan yang harmonis. Sebuah dialog hanya dapat terlaksana jika pihak-pihak yang berbeda ‘duduk’ bersama dalam kedudukan sederajat dan berkomunikasi dengan cara yang patut, layak, sopan, berbudi dan beradab – apalagi jika peserta dialog adalah umat beragama. Kontroversi seputar isu-isu pluralisme agama semakin jauh dari manfaat manakala tidak ada pijakan dialog.

Guna mendekatkan masing-masing pihak kepada kebenaran dan bersepakat dibutuhkan standar, yakni logika dan akal sehat manusia. Dengan dibantu oleh kebangkitan ilmu pengetahuan logika dan akal sehat tidak mengenal pernyataan iman, warna kulit maupun agama. Logika itu sama bagi semua orang maupun agama. Logika dan logika sajalah yang dapat memberi kita suatu pijakan untuk bersepakat.[4]

Logika menjadi faktor utama telaah kritis terhadap doktrin agama. Agama-agama di tengah kemajuan sains dan riset tertantang untuk bertahan menghadapi telaah kritis baik secara historis maupun teks. Sebuah pemahaman agama bisa mengelak dengan memisahkan kebenaran doktrin agama dari kebenaran sains tetapi seperti yang dikatakan oleh Galilio Galilie, “two truths cannot obviously contradict each other” dua kebenaran tidak mungkin bertentangan satu dengan lainnya.

Sikap melarikan pembahasan teks-teks agama yang perlu ditafsirkan secara metafora dengan bermain dalam istilah ‘misteri’ dan ‘transenden’ layak dijauhi karena akan berakhir pada keengganan manusia untuk berkreasi dan berpikir. Istilah gaib atau transenden sebagai sebuah kebenaran yang tidak terjangkau akal pikiran membawa alam berpikir umat Islam ke dalam dunia kahyangan – dunia dongeng. Pelarian ini juga membuat wajah agama dalam posisi bertahan di tengah-tengah serangan ilmu pengetahuan dan sains bukan pendukung bahkan pendorong. Ketiadaan gaya ofensif menandakan kematian daya hidup agama tersebut.

Agama tidak bisa memisahkan diri dengan dunia sains karena kita hidup di dunia ilmiah dan para pendiri agama sendiri diklaim pernah hidup di bumi ini artinya keberadaan mereka sendiri diakui sebagai fakta. Oleh karena itu, kehidupan dan ajaran mereka dapat diverifikasi melalui sebuah kajian historis kritis. Bagi para ilmu ilmuwan sejati, patahnya suatu temuan ilmiah yang kemudian disempurnakan dengan temuan baru merupakan kemenangan kolektif – suatu kemenangan ilmu pengetahuan dalam upaya membuka tabir rahasia alam semesta yang maha luas! Kemajuan ilmu dan teknologi menghasilkan kebenaran relatif yang terus-menerus diperbaiki menjadi lebih pasti – mendekati kebenaran hakiki. [5]

Wacana-wacana keagamaan seperti turunnya Nabi Isa secara fisik dari langit di akhir jaman, Tuhan itu satu sekaligus Tiga (Trinitas), Mi’raj (kenaikan) Nabi dengan badan fisik ke langit, Adam manusia pertama bukanlah sesuatu yang transenden karena dapat diverifikasi dengan metode ilmiah dan argumentasi logis.

Wacana kebenaran transenden adalah upaya untuk menyamarkan legenda, mitos dan penipuan akidah menjadi suatu ‘kebenaran hakiki’ jika bukti-bukti yang menguatkan menunjukkan sebaliknya. Begitu juga kecenderungan menyatukan semua kebenaran agama dalam suatu kesatuan transenden merupakan rekaan imajinasi induktif dengan bahasa yang cukup menyesatkan seperti yang dinyatakan oleh Naguib Al-Attas pada Bab II. Doktrin atau ajaran suatu agama atau bahkan agama itu sendiri bisa saja ditinggalkan karena bertentangan dengan sains dan fakta sejarah. Kritisi dan revisi sementara kalangan jika terbukti benar dan valid menghasilkan konsep kebenaran yang lebih akurat atau mutlak dalam batas tertentu.

c. Sikap Tidak Saling Mencela dan Memanggil dengan Nama Buruk

Allah memberikan petunjuk kepada orang-orang beriman agar menghindari sikap merendahkan, mengolok-olok, mencela dan memanggil dengan panggilan yang buruk. Panggilan buruk ialah gelar-gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari dengan gelar itu, seperti panggilan kepada seseorang yang sudah beriman dengan kata-kata: hai fasik, hai kafir dan sebagainya.[6]

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mencemoohkan kaum lain, mungkin mereka (yang dicemoohkan) itu lebih baik daripada mereka (yang mencemoohkan), dan janganlah wanita mencemoohkan wanita lain, mungkin mereka (yang dicemoohkan) itu lebih baik daripada mereka (yang mencemoohkan), dan janganlah kamu memburuk-burukkan di antara kamu, begitu pula jangan panggil-memanggil dengan nama buruk. Seburuk-buruk nama adalah fasik sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang aniaya.” (Surah Al-Hujurat (49): 12)

Ayat diatas menyebutkan beberapa keburukan sosial, yang menyebabkan ketidakserasian, pertentangan dan perselisihan yang dengan menghindarinya tercipta keserasian, keakraban, dan kerjasama yang baik di antara orang-orang Muslim secara individu atau golongan.[7] Cara dakwah Islam dengan cara mencap ‘sesat dan menyesatkan’, ‘Jaringan Iblis Laknatullah’, ‘keluar dari Islam’ dan sebagainya tidak mendapat justifikasi dari Alquran. Bisa jadi apa yang dituduhkan berbalik kepada si penuduh yakni, mereka yang memenuhi kualifikasi sesat, iblis dan keluar dari Islam.

Mungkin ada anggapan bahwa ayat ini khusus ditujukan kepada sesama orang yang beriman atau mukmin artinya tidak diterapkan kepada selain mereka sehingga memulai mengolok-olok, mencela dan memanggil dengan nama buruk kepada orang-orang yang dianggap sesat, salah bahkan menentang Islam dibenarkan.

Anggapan ini tidak tepat dengan beberapa argumentasi. Pertama, ada ayat Alquran lain yang menyebutkan cara berdakwah bil hikmah (dengan kebijaksanaaan), mau’izhah hasanah (nasihat yang indah) dan jadilhum billati hiya ahsan (berdebat dengan cara sebaik-baiknya) sebagaimana dapat dibaca dalam Surah An-Nahl,16:126.

Kedua, sekalipun ada ayat Alquran menyebut kafir kepada orang yang menuhankan Isa dan menolak para nabi namun tidak ada tradisi atau sunnah dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pergaulan sehari-hari untuk memanggil mereka kaum sesat menyesatkan, orang-orang kafir dan lain sebagainya.

d. Tidak Mencaci-maki Obyek Penuhanan Pemeluk Kepercayaan Lain

“Dan janganlah kamu memaki apa yang diseru mereka selain Allah, maka mereka memaki Allah karena rasa permusuhan tanpa ilmu. Demikianlah Kami menampakkan indah kepada tiap-tiap umat amalan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, maka Dia memberitahukan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Surah Al-An’am, 6: 109)

Walaupun Alquran dengan kuat melarang penyembahan berhala, namun Dia mengajarkan pemeliharaan kehormatan dan perasaan orang yang berbeda kepercayaan. Ayat ini bukan saja menanam rasa hormat terhadap perasaan-perasaan halus orang-orang musyrik sekalipun, tetapi bertujuan juga menciptakan keakraban antara berbagai bangsa. Ayat ini menunjukkan jika kaum Muslimin tidak mengikuti ajaran ini, maka diri mereka sendiri akan bertanggung jawab jika Allah dicaci maki dan selanjutnya mengganggu kerukunan komunal suatu masyarakat. Disamping itu, Islam juga mengajarkan sikap penghormatan kepada kepada pemimpin kaum-kaum lain yang bukan nabi, para pemimpin agama dan non-agama. Sikap melaknat, mengutuk dan mencaci-maki baik terang-terangan maupun tersembunyi perlu dijauhi.

Lafaz zayanna tidak berarti Tuhan sendiri menyebabkan perbuatan-perbuatan jahat manusia nampak indah. Kata itu hanya menunjukkan bahwa Dia telah menciptakan sifat manusia demikian rupa (dan dalam hukum Ilahi ini terletak rahasia kemajuan manusia dalam berbagai bidang) bahwa bila ia gigih dalam melakukan tindakan tertentu, ia memperolah perasaan suka pada tindakannya, dan perbuatannya mulai nampak bagus dalam pandangannya. Sesuai hukum umum Ilahi ini kaum musyrikin, yang sudah terbiasa menyembah berhala, akhirnya mengidap kesukaan akan kemusyrikan dan penyembahan berhala, sehingga kebiasaan itu nampak kepada mereka baik dan bermanfaat.[8]

e. Cinta Kasih, Saling Menolong dan Kerjasama dalam Kebaikan

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama, dan tidak mengusir kamu dari rumah-rumahmu dan berlaku adil terhadap mereka. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (Surah Al-Mumtahanah: 9)

Praktek ‘Pluralisme Agama’ Dalam Sejarah

Praktek ‘Pluralisme Agama’ Dalam Sejarah

Oleh : Dildaar Ahmad

Dalam kehidupan sosial budaya, pluralisme adalah kerangka di mana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain dan mereka hidup bersama serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi secara relatif sudah dipraktekkan sebelumnya.

Menurut Karen Amstrong, di masa kejayaan kerajaan-kerajaan Islam, tidak ada tekanan pada kaum Yahudi, Kristen, atau Zoroaster agar beralih ke Islam. Kaum Muslim tetap menjaga apa yang diistilahkan oleh Karen pluralisme agama di Timur Tengah dan belajar hidup berdampingan dengan anggota-anggota agama lain, yang menurut Alquran, merupakan pewahyuan awal yang valid.[1]

Jauh sebelum masa Renaisans di Eropa ketika istilah pluralisme agama belum muncul, selama 600 tahun, para penganut tiga agama monoteis (Yahudi, Kristen dan Islam) yang bersejarah itu dapat hidup bersama dalam harmoni yang relatif damai di Spanyol yang Muslim. Kaum Yahudi, yang diburu-buru kematiannya di seantero Eropa, dapat menikmati kebangkitan budaya mereka yang kaya.[2] Tidak sedikit kerjasama dalam bidang pemerintahan dan ilmu pengetahuan antara tiga pemeluk agama tersebut. Masa Renaisans di Eropa tidak lepas dari sumbangan atau warisan ilmiah yang ditinggalkan oleh peradaban Muslim di Spanyol ini.

Dalam sejarah, kita bisa melihat praktek pengelolaan komunitas di beberapa peradaban lain yang pernah mengijinkan adanya pluralitas agama di dalam wilayahnya. Tidak ketinggalan Indonesia dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang tercatat dalam sejarah senantiasa berpindah agama nyaris tanpa pertumpahan darah atau perang agama.

Namun kita juga tidak menutup mata tentang terjadinya praktek-praktek pemaksaan, intimidasi dan teror baik dalam bentuk kekerasan fisik maupun kekerasan mental berupa fatwa-fatwa dan pengucilan yang justru banyak dilakukan oleh orang yang satu agama namun lain mazhab pemikiran. Peristiwa yang banyak terjadi adalah teror dan intimidasi melalui fatwa; pemaksaan (ikraah) dan kekerasan baik fisik maupun mental.

Praktek-praktek penindasan atas nama agama dan tradisi justru dialami pada mulanya oleh para nabi dan pendiri sebuah kepercayaan yang sekarang dikenal sebagai agama. Nabi Adam ‘alaihissalam mendapat kesulitan dengan adanya iblis, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mendapat kesusahan karena Namrudz penguasa waktu itu tidak mentoleransi adanya kepercayaan yang bertentangan dengan agama kerajaan. Nabi Musa ‘alaihissalam beserta bangsanya mendapat penderitaan dalam membangun bangsa dan beribadah sesuai kepercayaannya dalam lingkungan rezim pagan Firaun. Begitu juga nabi-nabi yang lain. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kita tahu sangat menderita dalam menegakkan hak beragama dan berkeyakinan seperti hak beribadah, menyampaikan pendapat ajaran agamanya dan hak bertempat tinggal nyaman yang membuat beliau hijrah atau pindah ke Madinah.

Tanpa menutup mata terhadap praktek-praktek penindasan atas nama agama yang terjadi di dalam dunia non-Islam; dunia Islam dalam sejarah juga mengalami secara memalukan praktek-praktek yang bertentangan dengan ajaran agamanya sendiri dalam kaitannya dengan pluralitas agama dan kepercayaan. Hal memalukan ini justru dilakukan terhadap saudara seagama bukan terhadap non-Muslim yang bahkan secara relatif diakui praktek positifnya.

Dua dari tiga khalifah pengganti Nabi mengalami fatwa pengkafiran yang berlanjut pada pembunuhan. Fatwa atau pendapat bahwa sebagian besar sahabat telah kafir sepeninggal Rasulullah saw. sampai sekarang bahkan masih ada di kalangan Muslim aliran Syiah hal mana memicu konflik dan friksi dengan kalangan ahlussunnah. Sejarah umat Islam kenyang dengan apa yang dinamai fatwa takfir oleh ulama yang dekat dengan kekuasaan yang berisi pengkafiran, kutukan dan celaan terhadap tokoh Islam lainnya. Hal demikian tidak berhenti pada fatwa bahkan berlanjut dengan pertempuran tidak seimbang dan penganiayaan. Hadhrat Husein, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Malik dan Imam Ahmad pernah mengalami hal serupa.

Pembunuhan Husein dijustifikasi oleh fatwa seorang Qadhi dan didukung beberapa ulama yang dekat dengan Yazid, penguasa waktu itu. Imam Abu Hanifah meringkuk dalam penjara karena fatwa pengkafiran bahkan murtad yang dikeluarkan ulama masa itu yang didukung penguasa. Imam Syafi’i yang sekarang dielu-elukan oleh mayoritas umat Islam di Indonesia pernah mendapat julukan ‘adharru min iblis’ (lebih berbahaya dari iblis). Imam Malik pernah kesulitan beribadah shalat berjamaah karena fatwa. Beliau bahkan dipenjarakan dan mengalami cedera tangan hingga tak dapat digerakkan.[3]

Imam Ahmad mengalami kasus yang unik. Pada masa itu kekuasaan dinasti Abbasiyah didominasi oleh golongan Mu’tazilah yang sangat mengedepankan rasionalitas. Sifat rasional kelompok ini ternyata tidak menjamin mereka untuk tidak bertindak arogan dan irrasional ketika berkuasa. Imam Ahmad menjadi korban oleh ulah golongan ini. Beliau dipenjara, dianiaya, dicambuk, ditampar dan diludahi serta dipaksa merubah kepercayaan beliau yang menyebut Alquran itu kalamullah sementara golongan Mu’tazilah berpendapat secara dalam logika mereka Alquran lebih tepat adalah makhluk.

Di Indonesia pada masa kerajaan-kerajaan Islam, terdapat kasus serupa. Syeikh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging dan Sunan Panggung yang secara akidah berbeda dengan ulama mainstream kerajaan Demak mengalami pengkafiran dan pembunuhan. Kasus ini memang masih kontroversial mengingat apakah peran mereka terbatas pada ranah agama dan kepercayaan atau politis. Kerajaan Aceh pernah melakukan penganiayaan terhadap Hamzah Fanzuri ulama tasawuf tersohor masa itu beserta pengikutnya yang didorong oleh fatwa pengkafiran ulama Kerajaan Syeikh Nuruddin Ar-Raniri. Begitu juga dengan daerah-daerah lain di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan sebagainya.

Contoh yang dialami oleh Imam Ahmad dimana ia dianiaya karena peran golongan rasional yang mendapat kekuasaan menyisakan beberapa pertanyaan terhadap kalangan pluralis. Dapatkah mereka bersikap pluralis ketika saat yang tepat guna mempraktekkannya tiba? Benarkah indikasi yang dikemukakan oleh pengkritik pluralisme agama bahwa paham ini mempunyai kecenderungan dualistis? Di satu sisi mengedepankan kebebasan beragama namun membelenggu mereka agar lebih pluralis dan bukan menjadi diri sendiri. Di satu sisi menentang truth claim dan ‘melarang’ para pengikut agama-agama menonjokannya guna kerukunan beragama namun tanpa sadar dirinya sendiri tidak lepas dari klaim ini. Di satu sisi mengomentari dan berfilsafat tentang agama dan kepercayaan terhadap Tuhan namun sudahkah pengalaman dan pengamalan mereka membuat mereka absah dan kompeten berbicara, menilai dan memvonis agama-agama tersebut?

Nilai-nilai demokrasi, termasuk di dalamnya pluralisme dalam prakteknya secara sempurna memang tidak ada termasuk di dunia Barat yang berbicara atas nama demokrasi dan pluralisme. Standar ganda nampak jelas ketika kepentingan dan tradisi mereka mendapat tantangan atau mereka dituntut secara mendasar melindungi dan mengakui tradisi lain yang datang dari luar. Sebagai contoh kasus Salman Rushdie, kasus pendemokrasian Irak secara paksa lewat agresi; kritik ilmuwan Barat terhadap Holocaust dan akibatnya; kasus kartun Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, pelarangan jilbab di sekolah negeri di Perancis dan lain-lain.


[1] Karen Amstrong, Muhammad Sang Nabi (Surabaya: Penerbit Risalah Gusti, 2002) cet. IX h.382

[2] Ibid., h. 5

[3] Munir Ahmad Khadim, ‘Laknat Fatwa Kafir’ (Jakarta: Sinar Islam, 1985) April, no. 4, h. 41

HADITS-HADITS TENTANG IMAM MAHDI & MASIH MAU’UD a.s

HADITS-HADITS LAIN YANG SUDAH SEMPURNA TENTANG IMAM MAHDI & MASIH MAU’UD a.s

Oleh : SUTOMO HARDI


I. Rasulullah s.a.w bersabda (Musnad Ahmad bin Hambal jilid III hal.37): Dari Hadhrat Abu Said Khudri r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w bersabda : “Aku memberi kabar gembira tentang Imam Mahdi a.s yang akan dibangkitkan dalam umatku dalam keadaan bahwa pada waktu itu diantara manusia ada banyak perselisihan dan ada banyak kegoncangan maka ia akan memenuhi bumi dengan para marta dan keadilan, setelah penuh dengan ketidakadilan. Allah dan penghuni langit dan penghuni bumi akan rela kepadanya dan ia akan membagikan harta kepada semua orang dengan sama rata “.
Keterangan:
Semua orang yang percaya (dan bai’at) kepada Imam Mahdi a.s. mereka tinggal dengan keadilan dan Imam Mahdi a.s. akan membagikan banyak harta, harta itu ruhaniah yakni khazanah ilmu yang beliau sudah terangkan (berikan) dalam buku-bukunya.

2. Rasulullah s.a.w bersabda (Kanzul Ummal jilid 6 hal.686): Abu Daud dan Muslim meriwayatkan dari pada Hadhrat Ummi Salamah r.a bahwa Rasulullah s.a.w bersabda : “Sesungguhnya Mahdi itu dari keturunanku, dari anak-anak Fatimah r.a”.
Keterangan:
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s (pendiri Jemaat Ahmadiyah) bersabda: “Beberapa nenek perempuan saya adalah dari pada keturunan Siti Fatimah r.a”. (Nusulul Masih, catatan pingir hal.48).

3. Rasulullah s.a.w bersabda (Bukhari dalam Tarikhnya): dari Hadhrat Anas r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w bersabda : “Sebuah Jemaat akan berperang dengan India dan Ia (Jemaat) itu adalah beserta Imam Mahdi a.s yang namanya Ahmad”.
Keterangan:
Hadits tersebut sudah sempurna waktu terjadi perang antara India dan Pakistan, Pada waktu itu Jemaat Imam Mahdi a.s ikut berperang bersama tentara Pakistan melawan India.

4. Rasulullah s.a.w bersabda (Abu Daud dan Misykat hal.470): dari Hadhrat Abu Said Al Khudri r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w bersabda : “Al Mahdi itu dari keturunanku, indah paras mukanya, bagus hidungnya, memenuhi muka bumi dengan kebaikan dan keadilan, setelah penuh kejahatan dan kezaliman, berkuasa tujuh tahun”.
Keterangan:
Dalam kitab Bcharul Anwar jilid 13 dikatakan bahwa setiap satu tahun sama dengan sepuluh tahun. Jadi maksudnya Imam Mahdi a.s akan berusia +/- 70 tahun, dan kerajaan ruhaninya akan berjalan seperti dalam kehidupan Nabi Isa a.s

5. Rasulullah s.a.w bersabda (Ibnu Majah): dari Hadhrat Ali r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w bersabda : “Al Mahdi adalah dari kami, Ahlul Bait ia akan diislahkan oleh Allah dalam satu malam”.
Keterangan:
Hadhrat Ahmad a.s/Imam Mahdi a.s menulis dalam bukunya bahwa beliau diislahkan dalam satu malam.

6. Rasulullah s.a.w bersabda (Muntakhab Kanzul Ummal, pada hamisy Musnad Ahmad hal.404 j.5): Sabda Rasulullah s.a.w kepada Auf bin Malik : “……………fitnah-fitnah akan datang kelak berturut-turut hingga akhirnya datang seorang laki-laki dari ahlil baitku yang dipanggil orang Al Mahdi (Imam Mahdi), andaikata engkau mengalaminya ikutlah dia, masuklah ke golongan orang-orang yang mendapat hidayah”.
Keterangan:
Imam Mahdi Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. sudah datang maka ikutlah dan masuklah kedalam golongan beliau menurut perintah Rasulullah s.a.w.

7. Rasulullah s.a.w bersabda (Kitab Yanabi’ul Muwaddah hal.448): dari Hadhrat Zabir bin Abdullah r.a berkata bahwa Rasulullah s.a.w bersabda : “Barang siapa yang mengingkari keluarnya (kedatangan) Al Mahdi (Imam Mahdi a.s), kufurlah ia kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad”.

8. Kitab Al Burhan Fi Alama te Mahdi Akhir Zaman karangan Imam Muttaqi wafatnya tahun 975 H. pada bab 12 terdapat: dari Hadhrat Zabir bin Abdullah r.a berkata bahwa Rasulullah s.a.w bersabda : “Barang siapa yang mendustakan keluarnya (kedatangan) Al Mahdi (Imam Mahdi a.s), kufurlah ia”.
Keterangan:
Sudah jelas bahwa orang yang tidak percaya dan tidak bai’at kepada Imam Mahdi Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s maka orang itu kafir menurut sabda Nabi Muhammad (Rasulullah s.a.w). Harap kaum muslimin mengerti/memperhatikan hendaknya.
Tetapi tidak berarti keluar dari agama Islam, karena kekafiran itu ada tingkat-tingkatnya yang menunjukan ketidaksempurnaan Iman.
sebagai contoh, Rasulullah s.a.w bersabda : “Orang yang tidak mengerjakan sembahyang (tanpa Udzur) adalah kafir”.
Kata kafir disini bukan keluar dari Islam tetapi menunjukan rendahnya, atau tidak sempurnanya iman dan taqwa seseorang. Maka berdasarkan pengertian Hadits tersebut, kami orang Muslim Ahmadiyah sekali-kali tidak punya anggapan bahwa orang-orang yang belum iman kepada Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s (sebagai Imam Mahdi a.s/Nabi Isa a.s yang dijanjikan) benar-benar keluar dari Islam.

9. Rasulullah s.a.w bersabda (Dalailun nubuate jilid I hal.14): dari Hadhrat Abu Khuraerah r.a berkata bahwa Rasulullah s.a.w bersabda: “………….Nabi Musa a.s berkata, “Hai Tuhanku! Sesungguhnya saya melihat dalam alwah (papan tulis) bahwa akan ada satu kaum (umat), mereka diberikan ilmu awal dan akhir. Dan mereka akan melawan dalam abad-abad kesesatan dengan masih dajjal (kaum yang penipu). Nabi Musa a.s berkata: “Hai Tuhanku jadikanlah itu umatku”. Tuhan menjawab: “Itulah umat Ahmad”.

10. Rasulullah s.a.w bersabda (Riwayat Abu Nu’aim): dari Ibnu Umar r.a berkata bahwa Rasulullah s.a.w bersabda: “Mahdi akan keluar diatas kepalanya serban (memakai sorban) dan bersamanya ada penyeru yang menyerukan Mahdi Khalifah Allah ikutilah kamu dia”.

11. Rasulullah s.a.w bersabda (Riwayat Abu Nu’aim): dari Ibnu Umar r.a berkata bahwa Rasulullah s.a.w bersabda: “Mahdi akan keluar diatas kepalanya Malaikat menyerukan :”Bahwasanya ini Mahdi, ikutilah oleh kamu dia”.
Keterangan:
Imam Mahdi a.s akan mendapat pertolongan dari Malaikat.

12. Rasulullah s.a.w bersabda (Riwayat Ibnu Majah dan At-Tabrani): dari Abdulah bin Haris jaz-I az-zubaedi r.a berkata bahwa Rasulullah s.a.w bersabda: “Seseorang akan keluar dari timur lalu mereka menyediakan kekuasaan bagi Mahdi”.
Keterangan:
Imam Mahdi a.s akan datang dari negara bagian timur.

13. Rasulullah s.a.w bersabda (Riwayat Abu Nu’aim): dari Abu Tufail r.a berkata bahwa Rasulullah s.a.w menerangkan sifat-sifat Mahdi maka disebutnya berat pada lidahnya dan dipukulkannya pada tangannya yang kanan ke paha yang kiri, apabila perkataannya terlambat, namanya namaku.
Keterangan:
Sifat-sifat yang diterangkan dalam hadits tersebut ada pada diri Imam Mahdi Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. Dan ada persamaan dalam nama, maksudnya tujuan Nabi Muhammad s.a.w itulah tujuan Imam Mahdi a.s

14. Rasulullah s.a.w bersabda (Riwayat Abu Nu’aim dan Abu Bakar bin Al Muqri) : dari Ibnu Umar r.a berkata bahwa Rasulullah s.a.w bersabda: “Mahdi akan keluar dari kampung yang dinamai Kar’at”.
Keterangan:
a. Kata “Kar’at/Kar’atu” asalnya “Kad’ah” yang dekat dengan nama “Kadi” yang sesudahnya menjadi “QADIAN”.
b. Dikatakan “Kar’ia” dengan Tahrik ialah air dari langit, maksudnya Imam Mahdi a.s akan muncul di kampung yang merupakan sumber air, ruhani, ya’ni Wahyu dari Allah s.w.t

15. Rasulullah s.a.w bersabda (Musnad Ahmad bin Hambal jil.II hal.156) : “Sudah dekat orang yang hidup dari antara kamu akan bertemu dengan Ibnu Maryam sebagai Imam Mahdi dan Hakim yang adil, Ia akan memecahkan salib dan akan membunuh babi”.
Keterangan:
a. Menurut hadits tersebut kita mengerti bahwa Isa bin Maryam itu Imam Mahdi. Tetapi menurut Al Qur’an Karim Nabi Isa a.s itu telah wafat, sedang yang wafat tidak dapat kembali lagi kedunia, oleh karena itu pasti orang lain yang akan datang dengan nama Isa, ia akan jadi Imam Mahdi seperti halnya Nabi Yahya a.s datang dengan sifat-sifat Nabi Ilyas a.s (Matius bab 17 ayat 12-13).
b. Perkataan “Memecahkan salib dan membunuh babi” maksudnya Imam Mahdi a.s akan menzahirkan kekeliruan kaum Kristen dan akan mematahkan (membatalkan) agamanya dengan bukti-bukti. (Syarah Bukhari oleh Allama Badruddin dan Syarah Muslim jilid I Hal.266).

16. Rasulullah s.a.w bersabda (Riwayat Ibnu Majah) : dari Hadhrat Anas r.a berkata bahwa Nabi Muhammad Rasulullah s.a.w bersabda: “Keadaan akan berubah susah diakhir nanti, manusia hanya akan bertambah tamak pada dunia, Qiamat tidak akan datang kecuali kepada manusia yang jahat dan tidak ada Mahdi melainkan Isa bin Maryam”.
Keterangan:
Hadits itu shahih sebab rawinya Muhammad bin Khalid Al Jundi ialah orang Siqah yang bisa dipercaya. Dan Imam Syafi’i r.a yang pandai sekali untuk memeriksa orang-orang perawi juga mendapat riwayat dari Muhammad bin Khalid dan Yahya bin Molin, juga mengatakan bahwa Muhammad bin Khalid itu orang Siqah. (Tahzibut tahzib hal.144).
Dan Yahya bin Molin bukanlah orang kecil/biasa bahkan ia itu adalah seorang pimpinan untuk memeriksa dengan penuh keadilan, dan juga dikatakan hadits yang tidak diketahui oleh Ibnu Malin maka hadits itu tidak dianggap hadits. (Tahzibut tahzib hal.180-188).
Didalam Bukhari jilid III hal.165 dikatakan : “Muka Isa a.s berwarna merah, rambutnya ikal dan dadanya lebar”. Adapun gambaran rupa Nabi Isa yang dijanjikan Yakni Imam Mahdi a.s Didalam Bukhari jilid II hal.165 dikatakan : “Maka dialah seorang berwarna gandam, cantik diantara orang-orang berwarna gandam, rambutnya jatuh panjang diantara pundaknya, dan tinggi yang sedang”. Keadaan ini sesuai benar dengan keadaan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s (Imam Mahdi a.s/Nabi Isa a.s yang dijanjikan).
17. Rasulullah s.a.w bersabda (Bukhari jilid II hal.166) : dari Hadhrat Abu Huraerah r.a berkata bahwa Nabi Muhammad Rasulullah s.a.w bersabda: “Bagaimana keadaan kamu apabila turun Isa bin Maryam diantara kamu dan menjadi Imam Kamu dari antara kamu”.
Keterangan:
a. Dalam hadits tersebut tidak ada perkataan langit.
b. Perkataan Nazala artinya tidak selalu turun dari langit. Contoh yang lain ada dalam Al Qur’an Karim surah Al-Hadid ayat 26 yang artinya :”Dan Kami turunkan besi”. Kita semua tahu darimana datangnya besi.
c. Perkataan Isa bin Maryam tidak berarti Isa bin Maryam yang dulu yang akan datang tetapi orang yang akan datang itu ialah dari orang lain dari umat Islam sebagaimana diisyaratkan dalam kata (Fiiykum dan Minkum ,didalam golonganmu dan dari antaramu) dengan nama Isa a.s ya’ni Imam Mahdi a.s, yang sudah dijelaskan dalam hadits ke 16 dan 17.
d. Karena itu jelaslah bagi kita bahwa yang dimaksud Isa bin Maryam dalam beberapa hadits itu adalah Imam Mahdi Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s.
Dalam keterangan yang lain Hadrat Abu Jafar meriwayatkan (didalam Beharul Anwar jilid 12 hal.7): “…….bahwa Allah s.w.t menamakan Imam Mahdi itu Mansoer, Muhammad, Ahmad, Mahmud, dan Isa Al Masih”.

18. Rasulullah s.a.w bersabda (Muslim jilid II bab Nuzuli Isa): “Bagaimana keadaan kamu apabila Ibnu Maryam (Imam Mahdi) akan datang diantara kamu maka ia akan menjadi Imam Kamu dari antara kamu (dari antara umat Islam)”.

19. Rasulullah s.a.w bersabda (Muslim dan Musykat hal.480): dari Hadhrat Zabir r.a berkata bahwa Nabi Muhammad Rasulullah s.a.w bersabda: “Diantara umatku selalu ada satu golongan yang akan mempertahankan kebenaran sampai hari kiamat”. Beliau bersabda lagi maka Isa Ibnu Maryam (Imam Mahdi) akan datang dan amir mereka akan berkata : “Silahkan jadi Imam kita maka beliau bersabda : “Tidak! Sesungguhnya sebagian diantara kamu adalah amir atas sebagian yang lain, karena Allah s.w.t memuliakan umat itu”.
Keterangan:
Kata “Tidak” dalam hadits tersebut bukannya Imam Mahdi tidak mau mengimani, maksudnya banyak murid-murid beliau orang-orang alim, sedangkan Imam Mahdi selalu sibuk menulis buku-buku, karena itu beliau menyuruh orang lain untuk memimpin sembahyang. Begitu pula Imam Mahdi Hadhrat Ahmad a.s menunjuk Mlv.Hadhrat Nuzuruddin r.a dan Mlv.Abdul Karim r.a untuk menjadi Imam dalam sembahyang, namun kadang-kadang beliau sendiri juga menjadi Imam sembahyang.

20. Rasulullah s.a.w bersabda (Diriwayatkan oleh Ibnu Jauzidan Misykat hal.480): dari Hadhrat Abdulah bin Amar r.a berkata bahwa Nabi Muhammad Rasulullah s.a.w bersabda: “Isa Ibnu Maryam (Imam Mahdi) akan datang dari bumi maka beliau akan kawin dan akan mendapat anak-anak”.
Keterangan:
Menurut hadits tersebut Isa bin Maryam akan kawin, dan ternyata Nabi Isa a.s untuk akhir zaman ialah Hadhrat Ahmad a.s menikah dan mempunyai anak lima laki-laki dan dua perempuan, dan putra-putra beliau cerdas-cerdas.
Diantaranya seorang putranya bernama Hadhrat Mirza Basyirudin Mahmud Ahmad r.a. yang menjadi khalifah ke 2 (1889-1965) selama 51 tahun, beliau menulis tafsir Qur’an Karim dan banyak buku-buku lain yang berisi ilmu-ilmu khazanah besar sehingga sukar dicari bandingannya dalam zaman ini.

21. Rasulullah s.a.w bersabda (Diriwayatkan oleh Hadhrat Nawas Bin Sam’an): bahwa Nabi Muhammad Rasulullah s.a.w menerangkan tentang dajjal (orang-orang/bangsa-bangsa penipu) maka beliau bersabda: “Jika ia (dajjal) ke luar dan saya ada diantara kamu, maka saya sendiri akan debat dengan dia. Dan jika ia ke luar dan saya tidak ada diantara kamu dan setiap orang akan debat dengan dia. Dan Allah itu khalifah diatas setiap orang muslim…….. maka barang siapa diantara kamu mendapatkan dia, maka ia hendaknya membaca ayat-ayat permulaan surat Al-Kahfi. Maka ayat-ayat itu akan menyelamatkan kamu dari fitnah dan percobaannya…….. katika itu Allah s.w.t akan membangkitkan Isa Ibnu Maryam (yakni Imam Mahdi) maka ia akan turun dekat menara putih sebelah timur kota Damasyiq (maksudnya Imam Mahdi akan datang di kota yang mempunyai sifat-sifat seperti Damasyiq yaitu QADIAN yang ada disebelah timur) dekat menara putih (yakni ia akan mendapat derajat ruhani yang tinggi). Dan ia akan mengenakan dua kain kuning (maksudnya beliau mempunyai dua penyakit tetap)”.
Dan arti yang lain yang menerangkan bahwa Nabi Isa (Imam Mahdi) sendiri khalifah beliau akan datang di Damasyq. Sebagaimana Imam Mahdi Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s menulis dalam bukunya (Hamamatul Busyra hal.37) : “Kemudian Masih Mau’ud (Imam Mahdi) atau satu khalifah diantara khalifah-khalifah beliau akan berkunjung ke Damasyq”.
Dan dalam tahun 1924 anak beliau a.s Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad r.a Khalifah ke II telah datang ke kota Damasyq.
“Di atas pundaknya ada dua Malaikat” maksudnya ia akan mendapat pertolongan dari Allah s.w.t melalui Malaikat.
“Maka setiap orang kafir yang mendapat hembusan nafasnya akan mati”. Maksudnya ia mempunyai bukti yang nyata yang tidak bisa dilawan oleh orang-orang penentangnya.
“Dan nafasnya akan sejauh pandangan matanya”. Maksudnya bukti-bukti beliau berupa buku-buku akan disampaikan ketempat-tempat sejauh-jauhnya didunia.
Maka ia (Imam Mahdi) akan mencarinya (dajjal) sampai pintu Lud, maka ia (Imam Mahdi) akan membunuhnya.
Keterangan:
Dengan karunia Allah s.w.t. Imam Mahdi Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s mulai menerima bai’at pada bulan maret 1889 di kota Ludiana di daerah punjab India, dan beliau menulis buku-buku yang menjelaskan bukti-bukti dan ayat-ayat untuk mengikis agama dajjal yang telah sesat itikadnya.
Kemudian Nabi Isa (Imam Mahdi) akan datang kepada satu kaum yang diselamatkan oleh Allah s.w.t. dari pada dajjal maka ia akan membersihkan (mensucikan) mereka dan akan menjelaskan (mengabarkan) derajat mereka di sorga.

Keterangan:
Dengan adanya orang-orang yang bai’at, Imam Mahdi Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s benar-benar telah mendapat satu Jemaat (kaum) yang disucikan dengan ajaran-ajaran Al Qur’an dan beliau sudah menjalankan Nizam (peraturan) Al-Wasiyat, dan bagi anggota Jemaat beliau yang berwasiyat akan mendapat derajat di sorga.
Ketika ia ada dalam keadaan itu Allah s.w.t. akan mewahyukan kepada nabi Isa (Imam Mahdi) sesungguhnya Aku telah mengeluarkan hamba-hambaKu tidak ada yang bisa berperang dengan mereka. Maka kumpulkanlah hamba-hambaKu ke gunung Tur.
Keterangan:
Nabi Isa (Imam Mahdi a.s) akan mendapat wahyu dari Allah s.w.t. dan pada masa itu ada bangsa-bangsa yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan yang besar, mereka itulah orang-orang Eropa dan Amerika yang pada akhirnya bukan lawan Imam Mahdi a.s atau murid-murid beliau mengingat kekuatan dan kekuasaan lahiriah mereka. Oleh karena itulah Imam Mahdi akan mengumpulkan murid-muridnya di Gunung Tur, maksudnya: Beliau dan murid-muridnya akan mendo’a supaya pengaruh dan kekuatan dan musibah dajjal dihancurkan dan dibinasakan (dikikis itikad dan ajaran-ajarannya).
Dan Allah s.w.t akan membangkitkan Yajuj dan Majuj dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi…. Artinya waktu itu Yajuj dan Majuj (yakni kekuasaan kaum Atheis dan Kapitalis ) juga mendapat kemajuan dunia yang luar biasa didunia.
“Dan Nabiullah Isa akan ditahan beserta murid-muridnya” artinya Imam Mahdi a.s dan murid-murid beliau akan mendapat kesulitan-kesulitan dan mendapat percobaan-percobaan yang besar.
“Maka Nabiullah Isa (Imam Mahdi) dan murid-muridnya akan berdo’a untuk membinasakan Yajuj dan Majuj.”
Kemudian Nabiullah Isa (Imam Mahdi) dan murid-muridnya akan menjatuhkan dirinya untuk berdo’a………… maka Nabiullah Isa (Imam Mahdi) dan murid-muridnya akan berdo’a kepada Allah s.w.t supaya fitnah Yajuj dan Majuj dihancurkan.
Keterangan:
Dengan do’a dan bukti-bukti yang nyata dari Imam Mahdi a.s dan murid-muridnya fitnah dajjal dan Yajuj dan Majuj akan habis di dunia.
Ketika Allah s.w.t akan mengirimkan angin yang bagus dan bersih kemudian diambil jiwa dan ruh setiap orang Mu’min dan Muslim, kemudian akan ada manusia yang buruk maka diatas mereka akan datang hari Qiamat. (diriwayatkan oleh Muslim dan Misykat hal. 473-474)
Keterangan:
Apabila dengan do’a dan bukti-bukti yang nyata dari Imam Mahdi dan murid-murid beliau, dajjal dan Yajuj dan Majuj akan dibinasakan, maka sesudahnya Islam dalam wujud Jemaat Ahmadiyah akan maju pesat didunia dalam tiga abad sejak berdirinya. Sesudahnya orang baik akan wafat dan tinggal hanya orang-orang maksiat menjelang Qiamat datang (Muslim dan Misykat)
22. Rasulullah s.a.w bersabda (Diriwayatkan oleh Hadhrat Ali r.a): “Seorang akan keluar dari sungai Bukhara dan Samarkand ia akan dipanggil dengan nama Haris yakni orang tani, dan ia itu orang tani yang terkenal dan tentara ruhaninya yakni pimpinan Jemaatnya akan ada seorang yang mendapat pertolongan dari Allah s.w.t yang akan dipanggil dilangit dengan nama Mansoer, dengan cita-cita yang baik dalam hatinya, maka Allah s.w.t yang akan menjadi penolongnya. Haris atau orang tani itu akan menguatkan dan akan memperbaiki keturunan atau umat Nabi Muhammad s.a.w (apabila orang-orang mukmin dalam keadaan lemah ruhani, dan agama Islam banyak sekali penyerangnya dari orang-orang yang menentang) waktu itu orang tani akan mengembalikan kemuliaan agama Islam dan akan memelihara orang-orang mukmin seperti halnya orang Qurais berusaha sedapat mungkin untuk menolong Nabi Muhammad s.a.w. oleh karena itu adalah wajib bagi setiap orang untuk menolong orang tani itu (sebab dia bukan raja dan bukan orang kaya dan ia sangat banyak syarat-syarat yang dibutuhkan untuk menyebarkan agama Islam). Dan setiap orang mukmin hendaknya berusaha untuk menerimanya, yaitu jadilah murid orang tani itu.
Keterangan:
Hadits yang dimaksud orang tani itu adalah Imam Mahdi Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. dan tanda-tanda hadits tersebut dapat dilihat pada diri beliau a.s.
23. Rasulullah s.a.w bersabda (Dalam kanzul Ummal): “Bagaimana ummat itu bisa hancur yang mulainya saya sendiri dan dikahirnya Isa Bin Maryam (Yakni Imam Mahdi Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s yang memimpin ummat Islam dalam akhir zaman ini)”.
24. Shaik Ali Hamza bin Ali Malik ut-tusi dalam bukunya, Jaweherul-asraar dalam tahun 1840 menulis: Rasulullah s.a.w bersabda : “Imam Mahdi akan keluar dari kampung yang bernama Kada yakni Qadian dan Allah s.w.t. akan membenarkannya dan akan mengumpulkan sahabat-sahabatnya dari negara-negara jauh, sebanyak bilangan orang-orang yang ikut dalam perang Badar yakni 313 orang. Dan ia mempunyai satu buku yang didalamnya ada nama-nama sahabat-sahabat beliau bersama negara-negara dan sifat-sifat mereka”.
Keterangan:
Menurut hadits tersebut dalam zaman yang akhir ini, ialah hanya Imam Mahdi Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s yang mempunyai buku-buku cetak yang didalamnya ada nama-nama murid beliau sesuai dengan hadits tersebut.

25. Ibnu Zafar Sani meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Rasulullah s.a.w bersabda : “Dan ia (Imam Mahdi) ada khazana-khazana (ilmu-ilmu) bukan emas atau perak dan murid-muridnya orang sempurna dan suci, mereka akan berusaha keras seakan lari dengan cepat untuk taat kepadanya”. (Beharul Anwar jilid 13 hal.180-181, ditulis oleh seorang Shiah Mulla Muhammad Bakir).
26. Abu Zafar bin Muhammad meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Rasulullah s.a.w bersabda : “Bagaimana ummat itu bisa dibinasakan yang mulanya saya sendiri dan dua belas orang-orang suci dan berakal ada sesudahku, dan diakhirnya ada Masih Ibnu Maryam (Imam Mahdi) dan diantara mereka ada raja-raja Zalim dan banyak fitnah-fitnah, mereka tidak dariku dan aku tidak dari mereka”.
Keterangan:
Menurut hadits tersebut Imam Mahdi a.s akan datang abad ke-14 sebab Nabi Muhammad s.a.w orang pertama yang menjaga ummatnya dan sesudah beliau ada Mujadid 12 dalam dua belas abad, yang berusaha untuk menjalankan tugas beliau dan sesudahnya dalam abad ke -14 datang mujadid besar yang bernama Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s yang mendapat tingkat sebagai Isa yakni Imam Mahdi, Nabi dan Rasul juga.

27. Hadhrat Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Rasulullah s.a.w bersabda : “Sesungguhnya Allah s.w.t akan mengirimkan untuk ummat ini pada permulaan setiap seratus tahun seorang mujadid yang akan memperbaiki agamanya”. (Abu Daud dan Misykat hal.36).
Keterangan:
Menurut hadits tersebut Imam Mahdi Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s mendakwakan dirinya sebagai mujadid pada akhir abad 13 untuk seribu tahun dalam akhir dunia ini.

28. Hadhrat Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Rasulullah s.a.w bersabda : “Apabila sembahyang didirikan maka akan turun (datang) Isa bin Maryam (Imam Mahdi) dan beliau akan menjadi imam mereka maka apabila musuh Allah yakni dajjal melihat Isa (Imam Mahdi a.s), ia (dajjal) akan mencair sebagaimana garam mencair dalam air……….Dan Allah s.w.t akan membunuhnya (dajjal) dengan tangan Isa (Imam Mahdi a.s)”. (Muslim dan Misykat hal.466).
Keterangan:
Menurut hadits tersebut satu tugas Imam Mahdi Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s ialah membunuh dajjal.
Diisyaratkan dalam makrah awal dan akhir surah Al-Kahfi bahwa dajjal itu ialah orang ingkar (Kristen) dan dalam zaman ini Imam Mahdi sudah mematahkan kepercayaan orang ingkar dengan membuktikan bahwa Nabi Isa a.s tidak mati diatas salib dan kuburan beliau ada di Kashmir India.
Sedangkan orang kristen tidak dapat membantah beliau a.s bahkan mereka selalu takut kepada Imam Mahdi a.s dan murid-muridnya.
Dan pada waktu yang akan datang agama kristen pasti akan habis melalui Imam Mahdi a.s dan murid-muridnya menurut hadits tersebut Insya Allah.

29. Rasulullah s.a.w bersabda (diriwayatkan oleh Naim) : “Akan terbit dari timur satu bintang berekor sebelum keluar Imam Mahdi a.s”.
Keterangan:
Hadits ini sudah terjadi pada zaman Imam Mahdi Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s

Quo Vadis Pergerakan Islam ?

QUO VADIS PERGERAKAN ISLAM ?

Oleh : Akhmad Faizal Reza

Tulisan ini dibuat mencermati pergerakan Islam yang terlihat paradoks akhir-akhir ini di tanah air. Di satu sisi, jika diukur secara kuantitatif, geliatnya terlihat begitu menyolok terutama semenjak bergulirnya era reformasi. Tetapi di sisi lain, tema-tema yang diusung pergerakan Islam ini bisa jadi seperti dinyalir Gus Dur –dalam sebuah wawancara di sebuah stasiun televisi- merupakan set back alias kemunduran.

Disebut “kemunduran” karena sebagian pergerakan Islam masih berkutat pada beberapa point di bawah ini. Pertama, masih melihat faktor eksternal sebagai penyebab utama (prima causa) kemunduran Dunia Islam. Kedua, berkaitan dengan point pertama, akibat terlalu berfokus keluar maka permasalahan yang dialami umat sendiri sering terluputkan. Ketiga, pertengkaran tak berkesudahan di antara berbagai elemen kaum muslimin yang dipicu fatwa-fatwa yang tidak menoleransi perbedaan. Dan keempat, kekeliruan mendiagnosa penyakit yang melanda kaum muslimin. Penulis mencoba memaparkan point-point tersebut lebih rinci.

Menyalahkan pihak luar sebagai biang keladi keterpurukan Dunia Islam memang cara yang paling mudah. Dan itulah yang dilakukan sebagian pergerakan Islam selama ini. Menunjuk hidung Barat atau kelompok non muslim sebagai The Common Enemy seolah sudah menjadi kewajaran yang tercermin tidak hanya di mimbar-mimbar khutbah Jum’at, bahkan juga di media-media Islam kita. Bukankah dari awal kita menolak provokasi Huntington dalam buku kontroversialnya “The Clash Of Civilization” bahwa Islam adalah “sparing partner” bagi pihak Barat, tetapi seringkali sikap kita sendiri seakan-akan membenarkan tesis Huntington tersebut. Hal ini sesungguhnya mengkhawatirkan dan memrihatinkan bahwa –seperti diungkap Khaled Abou El Fadl- pemikiran muslim tetap berbentuk pro-Barat atau anti–Barat daripada memokuskan diri pada pertanyaan yang jauh lebih penting : apakah pemikiran umat Islam di dunia modern ini promanusia atau antimanusia –apakah pernyataan doktrinal Islam modern manusiawi tidak? Pertanyaan penting ini harus segera dijawab, sebab penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia di sebagian besar negara-negara muslim masih jauh tertinggal.

Pernyataan penulis ini bukan berarti menafikan faktor-faktor eksternal yang senantiasa mendiskreditkan Islam. Tetapi, alih-alih selalu menyalahkan pihak luar, semestinya kaum muslimin melakukan otokritik atau bercermin apa yang salah dalam dirinya ? Mengapa suatu kaum yang dijuluki sebagai “kuntum khayra ummatin uhrijatlinnas” menjadi begitu terpuruk seperti sekarang. Ibarat tubuh, apabila kaum muslimin dalam keadaan sehat, tak seorang pun di dunia ini yang dapat menyengsarakan mereka. Kita semua menghirup udara yang sama, tetapi beberapa orang menderita asma, beberapa menderita alergi, beberapa menderita TBC, beberapa orang kena pilek, dan penyakit ini-itu, sementara beberapa orang lainnya tidak. Mengapa tidak? Salah satunya adalah masalah kekebalan tubuh. Bakteria, virus dan kuman sama-sama mendatangi orang yang berada dalam kondisi fit dan lemah. Sementara, orang yang fit dapat mementahkan kembali serangan bakteri dan kuman itu, sedangkan bagi yang lemah kekebalan tubuh mereka tidak dapat berbuat apa-apa terhadap serangan ini.

Dengan kata lain, sesungguhnya Dunia Islam saat ini sedang tidak sehat alias sakit, sebab jika kaum muslimin berada dalam kondisi yang kuat serta fit maka tidak akan ada musuh yang berani menembus Islam. Seharusnya kaum muslimin dapat mengambil pelajaran dari sejarah, mengapa kerajaan Romawi gagal menaklukkan kaum muslimin di Arabia ? Begitu pula mengapa kekuatan Persia gagal menghancurkan mereka ? Padahal jika dibandingkan kedua kekuatan “superpower” tersebut, pada waktu itu, kaum muslimin sebagai sebuah kekuatan masih dipandang sebelah mata karena secara kuantitas masih sangatlah kecil. Jawabannya, karena kaum muslimin berada dalam kondisi yang sehat dan fit, dalam artian masih memegang erat keimanan yang sebenarnya(Lihat QS 48 : 29).

Terlepas dari praktek neo imperealisme dan neo kolonialisme yang dijalankan negara-negara Industri maju terhadap negara-negara dunia ketiga –di mana kebanyakan kaum muslimin kini berada- sebagian besar perilaku korupsi, penindasan, ketidakadilan, kemiskinan, dan kebodohan justeru disumbangkan oleh para pemimpin di negara-negara muslim sendiri. Fenomena memprihatinkan ini secara tepat digambarkan Gamal Al-Banna –aktivis Ikhwanul Muslimin- yang melalui perjalanan hidup dan perjuangannya dia berani melakukan refleksi mendalam. Menurutnya, “Negara-negara yang tidak memeluk Islam, masyarakatnya bekerja dengan gigih dan ikhlas. Mereka memiliki kejujuran dalam berkata, profesionalisme, menepati janji, dan akhlak baik lainnya. Sedangkan sebagian besar pemimpin di negara-negara muslim selalu melakukan kebohongan publik dan penyelewengan. Kerja mereka hanya menindas dan mengekang.” Oleh karena itu, Gamal Al Banna sampai pada kesimpulan yang mungkin terdengar pahit bagi kita, namun tidak jauh dari kebenaran. Dia berkata, “Atas dasar alasan ini, maka masyarakat Eropa bisa jadi lebih dekat dengan Allah dan idealisme Islam dibanding banyak masyarakat yang mengaku memeluk Islam.”

Point ketiga, adalah pertengkaran tak berkesudahan di antara elemen kaum muslimin sendiri yang tentunya sangat menguras energi. Beberapa elemen kaum muslimin dengan ”absolute truth claim”–nya merasa memiliki otoritas serta kewenangan untuk mengafirkan, menuduh sesat terhadap saudara-saudaranya yang lain. Dan ironisnya, tuduhan, serta fitnah pengkafiran mewarnai sejarah Islam semenjak awal. Imam-imam Mazhab pun tak luput menerima tuduhan-tuduhan semacam ini. Tidakkah kita mau belajar dari sikap Imam Syafi’i ketika menghadapi perbedaan (ikhtilaf). Beliau sering menziarahi makam Imam Hanafi di Irak. Ketika Imam Syafi’i melakukan shalat dalam kunjungannya ke makam Imam Hanafi, sebagai bentuk penghormatan ia tinggalkan qunut pada shalat subuhnya ( karena Imam Hanafi tidak memfatwakan tentang kewajiban qunut pada shalat subuh). Atau tidakkah kita belajar kepada Ibnu Rusyd yang berkata, “Ra’yuna shahih yahtamil al-khata, wa ra’yu ghairina khata’yahtamil al-shahih” (pendapat kami benar, tapi ada kemungkinan mengandung kesalahan, dan pendapat selain kami salah, tapi mungkin juga mengandung kebenaran). Sudahkah kita belajar dari kedua contoh beliau-beliau ini ketika kita memfatwakan kafir kelompok-kelompok lain, semisal kepada Ahmadiyah ?

Tentu saja, saya di sini tidak menuduh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mengafirkan atau bahkan melakukan tindakan anarkis terhadap kelompok atau golongan yang dianggap berseberangan. Namun, sikap itu saja tidak cukup. Jika memang benar –seperti diungkapkan oleh DK- bahwa HTI menjunjung tinggi persaudaraan Islam, semestinya HTI bersuara lantang membela –atau setidaknya memrakarsai diaolog- terhadap saudara-saudaranya dari golongan lain yang sedang teraniaya karena tuduhan-tuduhan tersebut. Lebih dari itu, seharusnya HTI pun menolak keras tindakan-tindakan anarkis yang merupakan buntut dari dikeluarkannya fatwa-fatwa pengkafiran tersebut. Sayangnya, pada point ini penulis jarang sekali mendengar HTI menyuarakannya.

Point keempat, berkaitan dengan kondisi “tidak sehat” yang dialami dunia Islam, sebagian gerakan-gerakan Islam meyakini bahwa satu-satunya obat untuk menyembuhkannya adalah melalui syariat (deus ex machine). Mereka beranggapan syariat –meminjam istilah Komaruddin Hidayat- sebagai cetak biru Ilahi yang sudah sempurna dan tinggal dilaksanakan. Hal itu sah-sah saja disuarakan, namun kemudian mereka menganggap diri merekalah yang berada di jalan yang benar sembari mencap kelompok atau golongan lain -yang tidak sependapat cara-cara penegakkan syariat seperti itu- tidak menjalankan Islam secara kaffah. Klaim ini tentunya berbahaya. Padahal, Syariat -seperti sering dirujuk oleh gerakan-gerakan Islam yang keukeuh ingin menerapkan syariat- tidak sepenuhnya memuat wahyu Allah Ta’ala, tetapi sebagiannya merupakan proses intelektual para cendekiawan muslim abad pertengahan, misalnya “Al-Ahkam al-Sulthaniyyah” karya Al-Mawardi yang disesuaikan dengan realitas Daulah Abbassiyah. Dengan demikian, untuk bagian yang terakhir ini kita tidak dapat menganggapnya “shahih likulli zaman wa makaan” karena bersifat spasial dan temporal, hanya cocok pada masanya.

Oleh karena itu daripada kita berfokus kepada pelarangan perempuan keluar malam, pemakaian baju koko atau baju muslimah bagi para PNS -seperti isi perda-perda yang diterapkan beberapa daerah belakangan- lebih baik dan substansial adalah bagaimana kita concern mengentaskan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan yang masih melanda sebagian besar umat Islam. Wallahu’alam bishawwab.

Penulis, pemerhati masalah agama dan sosial, tinggal di Bandung.

“WARISI APINYA, JANGAN ABUNYA !”

WARISI APINYA, JANGAN ABU-NYA !”

 

Akhmad Faizal Reza

 

“Warisi apinya, jangan abu-nya” selintas terdengar kata-kata Bung Karno menggema. Dengan sedikit membayangkan, si Bung sedang mengepalkan tangannya ketika mengucapkan perkataan terkenal itu beberapa puluh tahun yang lalu. Tentu, bukan kebetulan pada bulan Juni ini ada tiga peristiwa penting yang berkaitan dengan si Bung. Pertama, kelahiran Pancasila (1 Juni), yang menjadi “weltanschaung” bangsa ini. Sedangkan dua peristiwa lainnya, berkaitan dengan diri pribadi Bung Karno sendiri, yakni hari kelahirannya yang jatuh pada 6 Juni, dan kewafatannya tanggal 21 Juni.  Tetapi hal itu bukanlah alasan utama tulisan ini dibuat. Kata-kata beliau di awal tulisan inilah yang justeru melintas di benak saya akhir-akhir ini. Karena, meskipun ucapan tersebut telah berusia puluhan tahun, namun kandungan pesannya tidak dapat disebut “kadaluwarsa.”

Bahkan, dengan kondisi keberagamaan di tanah air kita akhir-akhir ini, kata-kata tersebut seakan-akan menemukan relevansinya kembali. Seperti juga di zaman Bung Karno, hari ini kita menyaksikan posisi agama yang begitu luhur dan mulia di tengah-tengah masyarakat, derajatnya kini turun sedemikian melorot. Ajaran-ajaran agama yang semestinya mencetuskan perdamaian, toleransi, tenggang rasa dan sikap-sikap positif lainnya kian sulit ditemukan. Sebaliknya, wajah agama yang mencuat ke permukaan adalah wajah agama yang justeru bertolak belakang dengan ajaran-ajaran agama sesungguhnya. Agama hari ini tak lebih sebagai alat pemukul, pencetus kekerasan, persekusi dan tindakan anarki. Dus, agama telah dipraktekkan dan diproyekkan demi memaksakan kehendak serta kepentingan kelompok tertentu. Dan yang selalu menjadi korban adalah saudaranya sendiri yang berbeda keyakinan  Kepada kelompok-kelompok seperti inilah mereka –yang mengaku sebagai para “pembela agama”- getol memraktekkan tindakannya. Lucunya, para koruptor kakap, yang jelas-jelas menyengsarakan rakyat dan bangsa ini luput dari perhatian mereka.

 Jika puluhan tahun lalu Bung Karno begitu khawatir dengan gejala tersebut, maka hari ini pun seharusnya kita memiliki kekhawatiran yang sama. Kekhawatiran ketika agama kemudian hanya diterjemahkan pada tataran “permukaan, simbolik, bendera, dan label semata. Sementara, substansi yang merupakan intisari ajaran agama malah menjadi kabur.

Keprihatinan ketika agama menjadi alat yang memecah masyarakat dalam fanatisme sempit. Masyarakat disekat-sekat dalam perbedaan-perbedaan yang saling dibenturkan. Perbedaan memang sudah ada sejak awal. Malah melalui perbedaan-perbedaan inilah kita dapat mempersatukan bangsa ini. Keragaman suku, ras, agama serta keyakinan merupakan khazanah kekayaan tanah air kita. Tidak setiap bangsa memilikinya. Tetapi, kini perbedaan-perbedaan tersebut diperuncing dan dibenturkan. Tuduhan kafir serta sesat begitu mudahnya terlontar kepada saudara-saudaranya yang memiliki keyakinan berbeda alias tidak sepaham. Dengan serta merta pula, kelompok-kelompok ini menjadi sasaran anarkis dan persekusi.

 

Keluarnya fatwa-fatwa semacam ini menandai kekolotan yang masih menyelimuti pemahaman sebagian ulama terhadap Islam.  Salah satu contoh yang menarik adalah bahwa sampai tahun 40-an (dan mungkin masih ada hingga sekarang)  terjadi polemik seputar “Blood Transfusie” (Donor Darah). Sebagian ulama pada waktu itu mengeluarkan fatwa haram hukumnya bagi kaum muslimin untuk mendonorkan darahnya. Itu hanya dalam satu soal, dalam banyak persoalan lainnya, sebagian besar ulama-ulama kita hingga kini masih diliputi dengan kejumudan, atau meminjam istilah Bung Karno, “kolot bin kolot.” Penyumbang utama terjadinya hal ini dikarenakan adanya pandangan pintu  ijtihad telah tertutup untuk selama-lamanya. Dengan demikian, kita “diharamkan” untuk melakukan interpretasi atau penafsiran baru terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Pandangan tersebut menyumbangkan andil bagi era kegelapan dalam sejarah umat Islam.  “..Dunia Islam adalah laksana bangkai yang hidup, semenjak ada anggapan, bahwa pintu ijtihad sekarang termasuk tanah yang sangar. Bahwa dunia Islam adalah mati geniusnya, semenjak ada anggapan, bahwa mustahil ada mujtahid yang bisa melebihi “imam yang empat”, jadi harus mentaqlid saja kepada tiap-tiap kiayi atau ulama dari sesuatu mazhab imam yang empat itu !” (1965:333) tulis Bung Karno.

Jika Bung Karno begitu geram dengan sikap para ulama-ulama kolot. Sebaliknya terhadap Ahmadiyah, Bung Karno seolah menemukan oase di padang pasir. Literatur-literatur Ahmadiyah menawarkan pemahaman Islam yang segar dan sesuai tuntunan zaman. “Mereka (Ahmadiyah) punya features yang saya setujui, mereka punya rasionalisme, mereka punya kelebaran penglihatan (broadmindedness), mereka punya modernisme” (1965:346). Kepada organisasi ini Bung Karno jujur mengakui, “Ahmadiyah adalah besar pengaruhnya, juga di luar India. Ia bercabang di mana-mana ia menyebarkan banyak perpustakaannya ke mana-mana. Sampai di Eropah dan Amerika orang baca ia punya buku-buku, sampai di sana ia sebarkan ia punya propagandis-propagandis. (1965: 389).  

 

 

 

 

Negara Islam Negara Islami ?

Negara Islam Negara Islami ?

Akhmad Faizal Reza

Apabila sudah menyangkut dunia perpolitikan, ada beberapa tema sentral yang “tidak pernah selesai”. Maksudnya, tema ini selalu saja mengundang polemik. Salah satunya adalah hubungan antara agama dan negara. Untuk sebagian kalangan, tema ini telah menjelma menjadi keseharian mereka, tentu dalam bentukan dan derajat yang berbeda. Ada yang melaluinya dengan berdarah-darah, atau malah kebalikannya, hanya diwarnai riak-riak kecil, bahkan tak kurang yang melaluinya dengan mulus.

Dan jika menyangkut wacana ini, maka Islam perlu mendapatkan porsi spesial. Sebab, tidak seperti agama lain, Islam merupakan ajaran yang serba meliputi, tidak ada pemisahan antara yang sakral dan profan, dan mengenal doktrin “din wa al dawlah” wilayah politik berada dalam lingkup agama. Sehingga bagi Yadh ben Achour (1992) Islam adalah agama dua kota, artinya politik (negara) dan agama merupakan kesatuan, upaya pengkotak-kotakkan dianggap sebagai pencideraan terhadap hukum-hukum Ilahiah.

Di lain pihak, para pendukung sekularisme malah menafikan hubungan ini, karena bagi mereka agama dan negara memiliki urusan masing-masing dan tidak boleh tumpang tindih. Kerasnya polemik ini turut mewarnai proses historis kelahiran Indonesia. Bung Karno sendiri (1940) ketika mengomentari pemisahan agama dan negara di Turki, pada derajat tertentu sependapat dengan Mustafa Kemal bahwa, “Islam dipisahkan dari negara, agar Islam menjadi merdeka, dan negara pun merdeka. Agar Islam berjalan sendiri. Agar Islam subur, dan negara pun subur pula.” Lahirnya Pancasila sebagai ideologi negara, ditengarai sebagai jalan tengah untuk menjembatani kehendak berbagai pihak, walaupun pada kenyataannya polemik tersebut tidak pernah selesai hingga sekarang.

Menurut kalangan literal, negara Islam merupakan negara ideal sesuai tuntunan syariah, dan merupakan sebuah “Kerajaan Allah di muka bumi.” Oleh karena itu, apapun bentuknya, negara yang tidak menerapkan syariat harus ditolak, dengan alasan menyalahi hukum-hukum Ilahi, materialis, ateis, dan segudang stigma lainnya. Namun, benarkah negara Islam merupakan tuntunan Islam itu sendiri ?

Dalam memaparkan konsep negara Islam, tidak cukup dengan menyandarkan diri pada tataran teoretis. Setidaknya ada dua batu ujian yang perlu dilalui. Pertama, penelusuran jejak negara Islam dalam tataran historis, sembari menengok kondisi kekinian negara-negara yang mengklaim dirinya sebagai negara Islam. Kedua, -tentu saja- membuktikan keberadaan konsep negara yang dimaksud dalam ajaran-ajaran fundamental.

Menelusuri cikal bakal negara Islam, ingatan kolektif kaum muslimin diajak untuk kembali pada periode kenabian Muhammad Saw di Madinah. Sebab, jika pada periode Mekkah, Rasulullah lebih merupakan pemimpin spiritual, maka pada periode Madinah, Rasulullah bukan saja berperan sebagai pemimpin spiritual, tetapi sekaligus sebagai kepala negara. Pada era inilah pertama kalinya “negara Islam” lahir.

Namun perlu diingat, tipikal negara Madinah tidaklah seperti negara-negara modern sekarang. Negara dan pemerintahan di zaman Rasulullah masih berbentuk sederhana, artinya belum ada pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif yang sekarang dikenal dengan Trias Politica. Ketiga fungsi ini sepenuhnya berada di tangan Rasulullah. Dan banyak kalangan menilai Rasulullah berhasil memerankan ketiga fungsi ini dengan gemilang.

Sepeninggal Rasulullah, estafet pemerintahan dilanjutkan era Khulafaur Rasyidin. Pada periode ini, aparatus negara semacam birokrasi, lembaga peradilan, lembaga keuangan, serta kelengkapan lainnya belum dibentuk secara tegas. Adapun proses pembentukannya berlangsung bertahap. Di zaman Abu Bakar –seperti dituturkan Engineer (2000)- tentara, polisi maupun birokrat yang merupakan prasyarat negara modern belumlah ada. Bahkan sebagai kepala negara, Abu Bakar, begitu pula penerusnya, Umar, tidak pernah menerima gaji sepeser pun dari negara. Kedua khalifah awal ini harus memikul pekerjaan lain demi menafkahi sanak keluarganya.

Di balik kesederhanaan era ini, satu hal yang dapat dipastikan periode ini merupakan keemasan demokrasi Islam. Penghargaan tersebut tidak berlebihan, sebab umat pada waktu itu sangat leluasa untuk melontarkan kritikan, bahkan dengan nada paling keras sekalipun pada khalifah. Fungsi kontrol sosial benar-benar dapat berjalan. Sebaliknya, khalifah pun memberikan respon yang sangat baik terhadap rakyatnya, tidak hanya terbatas pada kaum muslimin semata. Maka wajarnyalah jika sebagian besar umat Islam menjadikan era Rasululllah dan khulafaur Rasyidin sebagai blue print kepemimpinan ideal.

Namun sayang, era keemasan (golden age) tersebut tidak berlangsung lama. Pasca Khulafaur Rasyidin, perpolitikan Islam justeru mengalami setback dengan lahirnya dinastiisme. Padahal, seperti dituturkan Philip K. Hittti (1962), model semacam ini sama sekali tidak ada presedennya dalam ajaran Islam, bahkan tradisi masyarakat Arab sekalipun. Munculnya model dinasti merupakan akibat tak terhindarkan dari ekspansi Islam ke jantung-jantung peradaban lain, khususnya Kerajaan Romawi Timur dan Kerajaan Sasanid, Persia. Para penguasa Islam pasca Khulafaur Rasyidin kemudian meng-copy anasir-anasir kerajaan “adidaya” ini.

Lantas bagaimana dengan kondisi negara-negara Islam dewasa ini ? Jawabannya, sebagian masih meneruskan model negara Islam pasca Khulafaur Rasyidin, dan sebagian lainnya merupakan formula campur aduk antara model pemerintahan peninggalan kolonial serta anasir-anasir Islam. Dalam percaturan internasional, sebagian besar dari mereka masih berkategori negara-negara dunia ketiga yang berkutat dengan hal-hal klasik, semacam kemiskinan, utang yang menumpuk, korupsi yang merajalela, keterbelakangan iptek, dan pemerintahan yang represif terhadap warganya. Pertanyaannya, negara semacam inikah yang diinginkan Islam ?

Jika demikian, negara Islam seperti apakah yang seharusnya didirikan dan dijadikan prototype, serta syariat Islam manakah yang hendak ditegakkan ? Seharusnya dari sinilah segalanya bermula. Sebab, kenyataannya syariat tidaklah tunggal, dan seluruh dunia Islam tidak memiliki konsep yang disepakati bersama-sama mengenai syariat itu sendiri. Dan perlu pula digaris bawahi –karena sering terdapat kesalahpahaman- bahwa syariat tidak sepenuhnya perintah Allah dan Rasulullah, tetapi selebihnya merupakan produk inovasi manusia, dalam hal ini para fuqaha abad pertengahan. Dari sinilah dikenal istilah Man Made Syariah.

Jika pertanyaan-pertanyaan di atas belum terjawab, sudah sewajarnya upaya peng-iblis-an terhadap konsep negara sekuler perlu ditinjau ulang. Sebab, cita-cita sekuler atau sekularisme –menurut H.M Tahir Ahmad (1997)- hanyalah berarti bahwa suatu pemerintahan tidak akan mendasarkan dirinya pada salah satu kitab suci atau suatu agama tertentu untuk mengatur hal-hal yang berhubungan dengan aktivitas warga negaranya. Tugas pemerintah semata-mata mengurusi kedamaian serta keadilan. Kewenangan negara berhenti sampai di sana, selebihnya –seperti masalah keyakinan- merupakan ruang privat setiap warga negara yang patut dihargai.

Tuntunan ini sesuai dengan misi Islam (lihat An-Nisa : 58), agar penguasa senantiasa memerintah dengan seadil-adilnya tanpa pandang bulu. Apapun bentuk pemerintahan atau negaranya, I’diluu huwa aqrabu lit taqwa, kerjakan dan lakukan keadilan, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Ketiadaan bentuk negara yang baku dalam Islam justeru menunjukan kelebihan Islam. Karena menurut Qomarudin Hidayat –Guru besar tarikh Islam- tujuan diturunkannya Al Qur’an bukanlah menciptakan sebuah negara, melainkan sebuah masyarakat, yaitu masyarakat Qur’ani. Dan jika sudah terwujud, apa perlunya berteriak-teriak mendirikan negara Islam. Wallahu’alam.

Penulis, pemerhati masalah sosial keagamaan, tinggal di Bandung.

Siapa Yang Berhak ? Sebuah Pertanyaan…

SIAPA YANG BERHAK ?

SEBUAH PERTANYAAN UNTUK MENTERI AGAMA

Akhmad Faizal Reza

 

Setelah penyerangan untuk kesekian kalinya tehadap saudara-saudara kita dari Ahmadiyah terjadi, setiap orang yang concern dengan HAM menunggu tindakan atau kebijakan apa yang akan dilakukan aparat pemerintah, khususnya Menteri Agama, Maftuh Basyuni. Namun, penyikapan Menteri Agama sungguh jauh dari harapan. Alih-alih menyelesaikan masalah, apa yang diutarakannya malah menambah masalah baru, yakni agar Ahmadiyah membentuk agama baru di luar Islam. Benarlah pernyataan Adnan Buyung Nasution -dalam sebuah talkshow di TVRI- beberapa hari lalu, bahwa pemerintah terkesan menutup mata alias cuek terhadap persekusi yang dilakukan kelompok tertentu terhadap kelompok minoritas, terutama yang kerap menimpa Ahmadiyah. Apalagi praktek-praktek tersebut selalu berlindung di balik supremasi mayoritas. Pertanyaannya, dapatkah sebuah keyakinan dihakimi pandangan mayoritas ?

Penulis tidak pernah mengerti atas dasar apa Menteri Agama beranggapan bahwa seseorang atau sekelompok orang berhak digolongkan ke dalam Islam, sementara pihak lain tidak dapat digolongkan ke dalam Islam. Apakah Beliau memiliki SK atau Surat Perintah langsung dari Allah bahwa Ahmadiyah bukanlah Islam ? Jika Beliau memang memilikinya, itu lain soal, namun jika tidak, sungguh arogan pernyataan itu. Betapa tidak, Lha wong Rasulullah Saw sendiri pun -seorang insan kamil- tidak memiliki wewenang sampai sejauh itu. Seyogyanya kalimat tersebut tidak keluar dari mulut seorang Menteri Agama terhormat yang semestinya mengambil peran sebagai seorang bapak bagi semua umat beragama dan organisasi keagamaan di tanah air, tanpa diskriminatif.

 Penulis teringat –tentu Menteri Agama dan MUI sudah sering mendengarnya-cerita seorang sahabat Rasulullah yang berhadap-hadapan dengan musuhnya dalam sebuah peperangan. Ketika sang musuh kian terpojok, sekejap itu pula dia mengucapkan kalimah syahadat. Sahabat mengira hal itu hanyalah taktik untuk menyelamatkan diri belaka. Kejadian berikutnya dapat ditebak, sang musuh tewas meskipun dari mulutnya telah keluar kalimat tauhid. Kejadian ini dilaporkan kepada Rasulullah Saw. Beliau Saw sangat marah dan bertanya kepada sahabatnya itu, “Apakah kamu sudah membelah dadanya, dan mengetahui isi hatinya ?” Dari cerita itu kita dapat memetik pelajaran penting. Tidak seorang manusia pun mengetahui kadar atau derajat kesalehan seseorang. Oleh sebab itu, hanya Allah sematalah yang berhak menilai apakah seseorang termasuk ke dalam golongan beriman, muslim atau sebaliknya, kafir dan sesat (QS 16 :125).

Definisi Muslim

            Persekusi serupa yang menimpa Ahmadiyah di tempat asalnya, Pakistan dapat menjadi contoh. Pada 1953, berbagai golongan Islam, termasuk di dalamnya Jama’at-I- Islami, pimpinan Maulana Maududi, mengultimatum pemerintah Pakistan agar Ahmadiyah dikeluarkan dari ranah Islam, serta menuntut agar Chaudri Zafrullah Khan, Menteri Luar Negeri Pakistan –seorang ahmadi- dan beberapa ahmadi lain yang duduk di pemerintahan segera diberhentikan dari jabatannya. Tuntutan tersebut tidak di-amini oleh Khawaja Nazim-ud-Din, Perdana Menteri Pakistan pada waktu itu, sehingga pecahlah kerusuhan yang menelan korban jiwa tidak sedikit. Setelah peristiwa tersebut, Pemerintah Daerah Punjab membentuk sebuah Dewan Penyelidik. Salah satu pertanyaan yang diajukan Dewan ini kepada banyak ulama atau mullah di sana, adalah definisi seorang muslim. Hakim Munir dan Hakim M.R. Kayani, Dewan Penyelidik Pemerintah Punjab, dalam Report of The Court of Inquiry Constituted under Punjab Act II of 1954 to Enquire into the Punjab Disturbances of 1953, berkata : Dengan memperhatikan beberapa definisi yang diberikan ulama-ulama, terpaksa kami memberikan tanggapan bahwa tidak ada dua ulama yang sepakat tentang hal yang fundamental ini, Kalau kita terapkan definisi kita sendiri sebagaimana dilakukan oleh setiap ulama ahli itu dan definisi itu berbeda dari yang diberikan semua lainnya, kita semuanya serentak keluar dari Islam. Dan kalau kita ambil definisi yang diberikan oleh setiap ulama, kita tetap Muslim menurut pendapat ulama itu, tetapi kafir menurut definisi setiap ulama lain.”

            Khaled Abou El Fadl, -mengutip para sarjana islam klasik- menegaskan bahwa hak manusia di atas dunia mesti didahulukan daripada hak-hak tuhan (haqqul insan muqaddam ‘ala haqqil Ilah). Mengapa ? Sebab Allah pasti mampu membela hak-hak-Nya di akhirat, sementara manusia harus membela haknya sendiri-sendiri. Jadi, jika dikembalikan pada kasus Ahmadiyah, sangat tidak layak apabila Menteri Agama dan MUI mengeluarkan fatwa sesat, mengeluarkannya dari lingkungan persaudaraan Islam, apalagi menyuruhnya membuat agama baru. Hal ini sama saja menegasikan kemampuan Allah SWT untuk membela Hak-Nya sendiri. Semestinya ketika berhadapan dengan keragaman pendapat, kita mau belajar dari Ibnu Rusyd, “ra’yuna shahih yahtamil al-khatha, wa ra’yu ghairina khatha’ yahtamil al-shahih” (pendapat kami benar, tapi ada kemungkinan mengandung kesalahan; dan pendapat selain kami salah tapi mungkin juga mengandung kebenaran). Pola pikir para pendahulu kita yang sudah sedemikian maju ini seharusnya dikembangkan lagi, bukannya malah setback. 

Sesungguhnya apa yang terjadi belakangan menampilkan wajah Islam yang  paradoksal. Dari awal kita selalu menggembar-gemborkan bahwa kita adalah umat pecinta damai dan penuh toleransi. Sementara, realitas mempertontonkan kekerasan demi kekerasan berdiaspora di berbagai belahan negara-negara muslim. Tanpa disadari, dalang di balik centang perenangnya dunia muslim sekarang sedang terkekeh-kekeh menertawakan kekonyolan kita yang sudah termakan umpannya. Bagi mereka, kasus-kasus ini menjadi iklan sempurna yang seakan-akan membenarkan bahwa Islam dan penganutnya inheren dengan aktivitas teror. Kalau sudah begini, seharusnya kita malu dengan gelar yang telah diberikan Allah Ta’ala kepada kita sebagai “Kuntum khayra ummatin uhrijatlinnas !”  Wallahualam.

 

Penulis, Pemerhati masalah sosial & agama, tinggal di Bandung  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

SURAT TERBUKA UNTUK MENTERI AGAMA

SURAT TERBUKA UNTUK MENTERI AGAMA

Akhmad Faizal Reza

 

“Jadilah seorang hamba selama kau bukan seorang tuan :

Janganlah kemudikan perahu itu selama kau bukan juru mudi.”

(Jalaluddin Rumi)

Kepada  Menteri Agama terhormat,

            Ketika Bapak menawarkan dua pilihan kepada Ahmadiyah untuk tetap dalam Islam atau membentuk agama baru di luar Islam, sebenarnya Bapak tidak sedang menyelesaikan apa-apa. Pilihan yang bapak tawarkan adalah pilihan bersyarat dan masing-masing mengandung resiko. Kedengaran lebih mirip ultimatum ketimbang pilihan. Persis seperti jurkam daerah pada masa Orde Baru lalu. Menggembar-gemborkan kebebasan, tetapi jika rakyat tidak memilih partai pemerintah, maka mereka tidak akan mendapatkan apapun. Pilihan semestinya hanya mensyaratkan kebebasan untuk memilih atau bahkan tidak memilih sama sekali, tanpa embel-embel lain di belakangnya.

           Seandainya Ahmadiyah dipaksa memilih opsi kedua, persoalan tidak lantas selesai. Pada gilirannya kita akan menyaksikan “model Pakistan” diimpor ke negara kita. Bukankah di sana para pengikut Ahmadiyah dilarang memakai nama mesjid untuk tempat ibadahnya ? Dilarang mengumandangkan adzan untuk memberitahukan waktu shalat kepada umatnya ? Dilarang menghadap kiblat ketika mereka melakukan ibadah shalat ? Dilarang membaca Al-Qur’an yang senantiasa mereka baca setiap hari ? Dilarang mengucapkan shalawat kepada junjungan yang sangat mereka cintai yakni Rasulullah Saw ? Bahkan, dilarang untuk sekadar mengucapkan “Assalamu’alaikum” kepada tetangganya ? Sebab, jika nampak, aparat kepolisian tak segan menjebloskan mereka ke dalam penjara.

Dan kalau hal itu terjadi, tanpa sadar kita telah melarang sekelompok orang melakukan keyakinan dan praktek ritual yang sesungguhnya sama dengan kebanyakan kaum muslimin lainnya. Lantas, di manakah letak perbedaan antara kita dengan Ahmadiyah ? Tidakkah kita belajar dari sejarah bagaimana Allah memperingatkan Nabi Musa as. lantaran memarahi keyakinan seorang penggembala ? Dalam riwayat diceritakan Nabi Musa melihat seorang penggembala sedang berdo’a: “Duhai yang memilih orang yang Dikau kehendaki : Di mana Dikau, supaya aku jadi hamba-Mu, supaya aku memperbaiki baju jubah-Mu dan menyisir rambut-Mu, Supaya aku cuci pakaian-Mu, dan membunuh kutu-Mu, Membawakan untuk-Mu susu, Duhai Yang Mahatinggi ! Mencium tangan indah-Mu, memijit kaki-Mu, supaya aku bersihkan ruang kecil-Mu pada saat akan tidur !…Musa bertanya kepada si penggembala, siapa yang disapanya. Sang penggembala menjawab bahwa yang diajaknya bicara adalah Tuhan. Mendengar hal itu, Musa marah dan menyuruh sang penggembala menyumpal mulutnya dengan kapas. Namun, Allah menurunkan wahyu kepada rasul-Nya yang keras itu, bahwa Dia mengutusnya bukan untuk memecah belah orang, tetapi justeru untuk mempersatukan mereka.

Peringatan Allah terhadap Nabi Musa mengandung pelajaran penting. Pertama, Allah menganugerahkan wewenang kepada manusia, namun cakupannya sangat terbatas dan dipagari oleh wewenang atau wilayah Allah Taala Yang Maha Tidak  Terbatas.  Di sini kita harus bisa mengidentifikasi mana yang merupakan porsi manusia dan mana porsi Allah Taala. Ketika kita menggugat atau menghakimi keyakinan yang berbeda, sesungguhnya kita “meloncati pagar “ wewenang yang telah Allah berikan. Dengan kata lain, kita sengaja menegasikan wilayah-Nya. Jangankan Bapak sebagai Menteri Agama, Rasulullah Saw –kekasih-Nya- tidak diizinkan untuk mengambil wilayah-Nya itu. 

Kedua, masih berkaitan dengan point pertama. Meski dalam keterbatasan, Allah memberikan kebebasan juga kepada manusia. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan untuk tetap di Jalan-Nya atau sebaliknya, berbelok dan berpaling dari jalan tersebut. Dengan demikian, kebebasan berkeyakinan merupakan salah satu hak asasi yang dijamin Allah Taala sendiri. Lagi-lagi di sini kita tidak bisa dan tidak berhak memaksakan kehendak serta merampas kebebasan orang lain.  

Ketiga, Allah memerintahkan kita mencari “kalimat-un sawaa” (titik temu) dengan penganut agama lainnya (QS 5 : 48). Diakui atau tidak, pesan-pesan Islam merupakan kontinuitas atau gugusan kesatuan dari pesan-pesan sebelumnya.  Oleh karena itu tidak dapat diupungkiri adanya titik-titik persamaan, semisal, seperti keyakinan akan ke-Esaan Tuhan, dilarang membunuh, melakukan pencurian, berzina, berdusta dan sebagainya. Jika dengan penganut agama lain kita dituntut untuk mencari persamaan, lebih-lebih dengan Ahmadiyah.  Mereka sama sekali bukanlah orang lain. Mereka masih saudara se-islam (Ukhuwah Islamiyah) dan se-iman (Ukhuwah Imaniyah). Antara Ahmadiyah dengan kaum muslimin sebenarnya tidak ada istilah “kita” dan “mereka.” Dengan demikian kita harus memperlakukan Ahmadiyah sesuai sabda Rasulullah Saw yakni, sebagai satu tubuh dengan kaum muslimin lainnya.

Mengakhiri tulisan ini, ada baiknya kita merenungkan syair Jalaluddin Rumi di atas.  Saya sebut “kita” karena himbauan ini bukan untuk Menteri Agama semata, tetapi berlaku pula bagi kita yang telah Allah juluki sebagai “khayra ummatan.” Jangan mentang-mentang mendapat julukan sebagai “umat terbaik” lantas kita berani merampas hak Allah Taala. Sebab, perjalanan keimanan kita masih sangat jauh untuk dapat disebut sempurna. Dan sejatinya tidak ada kesempurnaan ketika berhadapan dengan makhluk seperti kita. Sungguh tepat pesan yang disampaikan Maulana Jalaluddin Rumi dalam syairnya,  “Selama rohanimu belum sempurna, janganlah kau membuka kedai sendiri. Jadilah orang yang bertangan lentur, dengan begitu kau bisa meragi dan menguli seperti adonan. Dengarkanlah perintah Ilahi, “Jadilah pendiam.” Membisulah. Jika kau berbicara, bicaralah untuk  meminta penjelasan. Kalau kau tidak menjadi lidah Tuhan, jadilah telinga. Jika kau berbicara, bicaralah sebagai seorang pengemis yang hina di hadapan kebesaran ruhani. “

 

Penulis, Pemerhati masalah sosial & agama, tinggal di Bandung

Ketika Agama Dianggap Sekadar Kosmetik

KETIKA AGAMA DIANGGAP SEKADAR KOSMETIK

Akhmad Faizal Reza

 

           

            Ada sementara orang yang menganggap dewasa ini merupakan era kebangkitan agama. Argumen tersebut sah-sah saja diutarakan jika yang menjadi ukuran adalah semakin banyaknya tempat-tempat ibadah didirikan, berbondong-bondongnya masyarakat menyaksikan tabligh akbar, ceramah dan sejenisnya, serta maraknya rumah-rumah produksi (Production House) membuat tayangan sinetron religi. Tak ketinggalan di dalamnya adalah berbagai kompetisi yang mencetak da’i-da’i instan. Namun apakah hal ini menunjukkan bahwa posisi agama kembali menguat di tengah-tengah masyarakat?

Jawabannya, bisa ya, bisa juga tidak. Sebab, hal-hal tersebut bukanlah satu-satunya tolok ukur untuk menilai menggeliatnya keberagamaan masyarakat. Sebab, bisa jadi ini sekadar gejala eskapisme atau pelarian semata. Ketika orang pada mulanya terpukau dengan teknologi yang menawarkan begitu banyak kemudahan, kecepatan dan akses tiada batas, di sisi yang lain semua itu justeru menimbulkan ketidaknyamanan dan menyisakan ruang kosong dalam sanubari. Jadilah agama salah satu tempat pelarian orang-orang dari zona mabuk teknologi. Jika futurolog John Naisbitt melihat fenomena tersebut  kentara di Amerika, penulis meyakini hal serupa terjadi di tanah air kita. Seperti di Amerika sana, belakangan di sini pun konsumsi masyarakat akan buku-buku agama dan psikologi popular  meningkat pesat dibandingkan buku lainnya.  

Hanya saja, ketika keberagamaan dipersepsikan sebagai pelarian, maka yang terjadi kemudian agama diterjemahkan menjadi semacam kosmetik. Dari permukaan terlihat indah dan cantik, namun kosmetik tetaplah sebuah pulasan serta polesan artifisial yang berfungsi menyembunyikan kekurangan wajah aslinya. Ibarat gincu yang mengicu, fenomena tersebut terlihat dari hal-hal berikut:

 Pertama, ada jarak yang semakin melebar antara nilai-nilai yang diajarkan agama dengan realitas yang terjadi di tengah masyarakat. Memang nampak sepintas, kini kita banyak menemukan sekolah mulai dari jenjang taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi yang memakai embel-embel agama di belakang namanya. Rumah-rumah ibadah seperti mesjid bertebaran hingga pelosok-pelosok desa.. Acara-acara keagamaan, semacam tabligh akbar, istighasah, ceramah atau khutbah para da’i kondang menghiasi program radio dan layar televisi kita. Tetapi hal itu semua masih harus dibuktikan efektifitasnya. Alih-alih berhasil menggerus kemungkaran, secara kualitas modus dan praktek kejahatan kian hari kian mengalami sofistikasi. Jangan-jangan orang yang menyaksikan acara-acara semacam itu memperlakukannya sebagai “instrumen katarsis” belaka. Persis seperti kita meyaksikan konser musik atau nonton film di bioskop, di mana tujuan paling utama orang datang ke sana adalah untuk memuaskan kebutuhan  entertainment mereka. 

Kedua, begitu mudahnya masyarakat bangsa ini tersulut konflik yang seringkali diselesaikan dengan kekerasan. Pertanyaannya, bukankah sudah semenjak lama masyarakat kita terkenal agamis ? Sejatinya tidak satupun pesan-pesan keagamaan yang menghalalkan kekerasan. Tetapi sekarang, kekerasan begitu mudah dicetuskan bahkan oleh hal-hal yang cetek sekalipun. Maka kemudian, tidaklah aneh apabila kita menyaksikan kejadian-kejadian semisal, pilkada rusuh karena calonnya kalah, tawuran warga antar desa hanya lantaran berebut gadis desa, maling ayam dikeroyok hingga tewas,  massa menyerbu rumah seseorang yang dituduh dukun santet serta tindakan anarkis lainnya.

 Ketiga, ada keterputusan pesan-pesan agama yang sampai kepada masyarakat kita. Padahal, di tengah-tengah beragamnya media informasi dan komunikasi massa semestinya masyarakat tidak pernah kekurangan pesan-pesan kegamaan. Apalagi akses untuk mendapatkannya semakin terbuka lebar. Pengelola media pun telah merancang serta mengemas acara-acara semacam ini sedemikian rupa. Jika pada dasawarsa sebelumnya pesan-pesan ini cenderung dikemas secara satu arah, Kini, program keagamaan dibuat lebih menarik, seperti melibatkan interaksi audience, membuat muatan acara yang lebih santai serta menghibur  atau meliput live acara-acara keagamaan.

  Keempat, dan ini yang penulis anggap paling gawat. Kekerasan berkelindan dengan jargon-jargon keagamaan. Bukankah hubungan antara agama dengan kekerasan diibaratkan “air dan minyak” alias tidak pernah ketemu ? Tetapi, akhir-akhir ini kasus kekerasan atas nama agama kerap dilakukan dan memperlihatkan gejala mengkhawatirkan. Terkesan kekerasan sah-sah saja dilakukan, bahkan wajib hukumnya, dan orang yang mempraktekannya mendapat ganjaran pahala. Pertanyaan yang mendesak dijawab, di manakah klaim-klaim yang selama ini menyebutkan bahwa masyarakat kita sangat toleran ? Di manakah kita temukan hari-hari penuh kedamaian ketika setiap orang dapat menjalankan keyakinan dan kepercayaannya dengan tenang ? Yang terjadi malah kebalikannya. Mesjid-mesjid Ahmadiyah dihancurluluhkan. Rumah-rumah milik anggotanya dibakar, dan penghuninya diusir dari tanah kelahirannya sendiri. Ketika para pelaku kekerasan ditanya mengapa mereka melakukan perusakan, secara otomatis mereka mendasarkan tindakannya kepada fatwa MUI yang menyatakan Ahmadiyah sesat.  Agaknya, setiap orang dapat dengan mudah mengklaim bahwa tindakannya merupakan jalan yang diperintahkan agama, namun di sisi lain kita sulit untuk menelisik motif di belakangnya. Tindakan yang muncul ke permukaan sepertinya terlihat agamis, namun hal itu belum tentu didorong oleh motif-motif keagamaan. Bisa saja motif tersebut muncul berlatar belakang kecemburuan,  rasa frustrasi atau semata kepentingan ekonomi .

Last but not least, semoga ini hanya tindakan segelintir orang. Bukankah, mayoritas masyarakat kita dikenal sebagai masyarakat yang moderat ? Dan mereka merupakan silent majority. Namun pertanyaannya, sampai kapan kita terus diam dan membiarkan hal ini berulang terjadi ? Sebab, bukankah ada pepatah “tidak selamanya diam itu emas ?” Wallahu’alam.

 

           

Penindas VS Tertindas

PENINDAS VERSUS TERTINDAS

Akhmad Faizal Reza

Sampai detik ini, mata rantai penindas-tertindas tidak pernah hilang dari muka bumi.  Menurut Paulo Freire –seorang pendidik Brazil- Penyimpangan ini terjadi sepanjang sejarah ; namun bukan suatu fitrah sejarah. Dan ketika praktek-praktek penindasan bersimaharajalela, maka cepat atau lambat keadaan yang kurang manusiawi itu akan mendorong kaum tertindas untuk berjuang menentang mereka yang telah membuat mereka jadi demikian. Dengan kata lain, Freire mengungkapkan bahwa tugas untuk melawan penindasan, sejatinya berada di pundak kaum tertindas dan mereka yang sungguh-sungguh berpihak pada kaum tertindas tersebut. Karena kalau bukan mereka,  siapakah yang lebih siap dibanding kaum tertindas untuk memahami makna mengerikan yang terjadi pada masyarakat yang menindas ? Siapakah yang merasakan penderitaan akibat penindasan lebih daripada kaum tertindas itu sendiri ? Siapakah yang dapat memahami pentingnya arti pembebasan dengan lebih baik ? Beberapa pertanyaan tersebut dilontarkan Freire untuk semakin menegaskan bahwa tugas tersebut benar-benar harus diemban oleh kaum tertindas.

  Namun, perjuangan ini hampir saja menjadi paradoks. Sebab seperti dituturkan Freire, hampir selamanya, sejak awal dari perjuangan ini, kaum tertindas bukannya mengusahakan pembebasan, tetapi cenderung menjadikan dirinya penindas, atau “penindas kecil”. Sebuah contoh, jarang sekali seorang petani ketika diangkat menjadi “mandor”, tidak menjadi seorang tiran yang lebih kejam terhadap rekan-rekannya dulu dibanding dengan majikannya sendiri (1995 : 15).

Analisis Freire tersebut sangatlah menarik terutama apabila kita menerapkannya dalam lapangan keagamaan. Sejarah berbagai agama menunjukan kepada kita bahwa dalam rentang sejarahnya, agama tak luput dari mata rantai penindas-tertindas ini. Mata rantai tersebut dapat diterangkan secara sederhana sebagai berikut, jika pada awalnya ketika agama baru lahir, para penganut agama tersebut berada pada posisi sebagai kaum yang tertindas (dan sejarah sebagian besar agama menunjukkan hal itu), namun seiring dengan waktu, lambat laun, jumlah orang yang menganut agama baru tersebut menjadi sedemikian besar, maka tibalah giliran mereka bersalin rupa menjadi “penindas” baru terhadap mantan “majikannya” yakni agama atau kepercayaan asal yang selama ini menganiaya mereka. Bahkan, hal ini tidak berhenti sampai di sana. Bentuk penindasan tersebut tidak hanya terjadi kepada pihak eksternal, atau pihak di luar agama bersangkutan, tetapi juga terjadi di dalam agama tersebut. Dengan kata lain, di dalam agama tersebut seakan-akan terbentuk “kelas penindas” yang menindas saudara-saudaranya yang dianggap menyimpang dari rel ajaran agama yang mereka anut.

Sekarang mari kita lihat contohnya dalam sejarah. Ketika Kristen lahir, agama ini  menjadi bulan-bulanan tidak hanya agama Yahudi, tetapi juga agama-agama pagan, seperti agama pagan Romawi. Selama kurang lebih 3 abad, kaum kristiani dikejar-kejar, dibunuh, dianiaya dan dijadikan martir akibat kepercayaan yang mereka anut. Bahkan di zaman Romawi, kekejaman yang mereka alami sangatlah luar biasa. Mereka dijadikan tontonan di colosseum-colosseum dan diumpankan kepada singa, serigala, atau dipertarungkan dengan para gladiator hingga tewas. Tetapi, sejarah  kemudian mulai memihak mereka, lambat laun jumlah penganut Kristen semakin meningkat dan puncaknya ketika Kaisar Romawi, Constantin menyatakan bahwa agama Kristen adalah agama Negara. Keadaan menjadi sedemikian rupa berbalik, Kristen yang dahulunya tertindas tak segan mengikuti jejak penindasnya dahulu, yakni dengan menjadi penindas pula. Kaum pagan yang tersisa ditumpas. Lantas, praktek penindasan mulai terjadi ke dalam, saudara-saudaranya yang dianggap menyebarkan bid’ah ditumpas, dibakar atau disalib. Golongan-golongan seperti Protestan, merasakan hal ini diawal kelahirannya.    

            Lantas, bagaimana dengan Islam ? Sejarah Islam awal sesungguhnya menampilkan kenyataan yang unik. Peristiwa Futuh Mekkah menjadi bukti, di mana Rasulullah Saw memutuskan mata rantai “penindas dan tertindas.” Pada waktu itu, dengan kekuatan 10.000 sahabat, Rasulullah Saw memasuki gerbang kota Mekkah. Kaum Quraisy yang memusuhi beliau Saw sangat panik, dan lari tunggang langgang. Hal ini wajar, karena mereka mengira inilah saatnya kaum muslimin menuntut balas. Tentunya mereka membayangkan perlakuan keji mereka terhadap kaum muslimin selama ini akan dibalas dengan perlakuan keji atau bahkan lebih keji kaum muslimin kepada mereka. Namun, sejarah ternyata tidak menulis demikian. Peristiwa kemenangan ini tidaklah berubah menjadi ajang “vendeta” atau balas dendam. Hampir tidak ada darah tertumpah pada saat itu. Hal ini terjadi karena Rasulullah Saw mengampuni mereka yang menganiaya kaum muslimin. Padahal di antara mereka ada yang merupakan pembunuh paman beliau Saw, Hamzah dan puteri tercinta beliau sendiri Zainab r.a.  

            Hal serupa berulang ketika Perang Salib. Pada saat pasukan muslim di bawah pimpinan Sultan Salahuddin telah tiba di gerbang kota Jarusalem, sang Panglima Nasrani, menghadap beliau dan berkata, “Aku akan menyerahkan kota ini padamu, namun aku takut perbuatan nenek moyangku 100 tahun lalu ketika menduduki kota ini kau ulangi, mereka telah membantai anak-anak, perempuan dan orang tua dari kaummu,” Sultan Salahuddin  berjanji, “Aku sekali-kali bukanlah tipe orang seperti itu !” Mendengar janji beliau, Sang Panglima Nasrani kemudian menyerahkan kota Jarusalem kepada kaum muslimin. Dan benar saja, kaum Nasrani tidak dianiaya dan tidak dicabut hak-haknya.

            Namun, rupanya kaum muslimin pun tidak luput dari mata rantai penindas-tertindas ini. Lambat laun dalam kalangan muslimin mulai terbentuk lapisan “penguasa tafsir” yang seakan-akan lebih berhak menafsirkan Islam dibanding yang lainnya. Bahkan, dalam kenyataannya peranan Nabi Saw pun telah mereka lampaui. Mereka dengan sangat yakin merasa mengetahui kehendak Allah Ta’ala. Dengan demikian mereka merasa sebagai wakil-Nya, sehingga mereka tak sungkan untuk mengambil alih hak-hak-Nya.  Lapisan ini dapat saja bernama, ulama, ustadz atau habib. Namun, watak mereka sesungguhnya tak jauh dari para penindas. Dan Rasulullah Saw telah memeringatkan kepada kita tentang ulama-ulama semacam ini. Menurut beliau Saw, “di akhir zaman, ulama-ulama seperti ini adalah seburuk-buruknya makhluk di kolong langit.” Wallahu’alam.

Persinggungan Founding Father dengan Ahmadiyah

PERSINGGUNGAN FOUNDING FATHER DENGAN AHMADIYAH : SEBUAH SEJARAH YANG TERLUPAKAN

Akhmad Faizal Reza

 

            Ketika seharusnya saudara-saudara kita dari Ahmadiyah mendapatkan perlindungan dan jaminan keamanan akibat tindakan persekusi yang menimpanya akhir-akhir ini, para pejabat kita malah mengeluarkan pernyataan yang menyakiti perasaan mereka. Salah satunya datang dari seorang pejabat tinggi negara kita yang mempertanyakan kontribusi Ahmadiyah terhadap bangsa ini.  Ibarat pepatah, “Bukannya menolong, tetapi menggolong” Bukannya perlindungan yang didapat, kesusahan yang mereka alami semakin bertambah. Point  inilah yang ingin penulis ulas.

Ahmadiyah menjejakkan pengaruhnya di tanah air jauh sebelum era kemerdekaan. Setidaknya pada tahun 20-an, literatur-literatur Ahmadiyah sudah dikenal tokoh-tokoh pergerakan kita. Jadi, ketika Ahmadiyah Lahore masuk pertama kali ke tanah air dengan perantaraan mubalighnya, Mirza Wali Ahmad Beig pada 1924, lalu disusul setahun kemudian oleh Ahmadiyah Qadian, melalui utusannya Tuan Rahmat Ali, tokoh-tokoh pergerakan tidak terlalu asing lagi. Satu hal yang tidak dapat disangkal,  Ahmadiyah menawarkan pemahaman-pemahaman Islam yang segar, dan ini cocok dengan mereka yang merasakan gejala “inferiority complex” ketika berhadap-hadapan dengan hegemoni Barat.  Pengaruh Ahmadiyah terlihat pada kongres Sarekat Islam 1928, di Yogya. Dalam kongres itu dibicarakan tafsir Qur’an -yang digarap Tjokroaminoto- yang ternyata didasarkan atas tafsir Ahmadiyah Lahore. Mengapa justeru memakai tafsir Ahmadiyah ? Tentang ini Agus Salim menerangkan bahwa dari segala jenis Al-Qur’an, yaitu dari kaum kuno, kaum mu’tazillah, ahli sufi dan golongan modern (di antaranya, Ahmadiyah), tafsir Ahmadiyahlah yang paling baik untuk memberi kepuasan kepada pemuda-pemuda Indonesia yang terpelajar (Pringgodigdo, 1978 : 41).

            “Nuansa” Ahmadiyah juga turut mewarnai pemuda-pemuda Islam yang tergabung dalam Jong Islamieten Bond (JIB). Seperti dituturkan Nurcholish Madjid, saking terpelajarnya, mereka ini memilih buku-buku Islam dalam bahasa Barat, yang pada waktu itu tidak ada yang lain kecuali terbitan Ahmadiyah. Maka dari itu banyak sekali orang  memakai buku-buku Ahmadiyah tanpa menjadi anggota Ahmadiyah.

            Lebih kentara lagi pengaruh tersebut kepada Bung Karno. Buku-Buku Ahmadiyah turut berkonstribusi “mematangkan” pemahaman ke-Islamannya.  Akibatnya, tak sedikit tulisan-tulisan Bung Karno yang menyertakan Ahmadiyah di dalamnya. Ketika di buang ke Endeh, Bung Karno menyatakan bahwa pemahaman-pemahaman kelompok ini merupakan pemahaman yang  modern, rasional, dan broadminded. Sikap Bung Karno tersebut tak urung mengundang lawan-lawan politiknya menuduh beliau menjadi propagandis Ahmadiyah. Hal ini dibantah Bung Karno sendiri, namun demikian penghargaannya terhadap kelompok ini tidak pernah berhenti. Semisal dalam artikel “Memudakan Pengertian Islam”  yang ditulis Bung Karno pada tahun 40-an. “ Di sana Bung Karno menyoroti Ahmadiyah sebagai organisasi Islam yang mempunyai pengaruh besar tidak saja di India, lebih dari itu merupakan faktor penting pula di dalam dakwah Islam di benua Eropa (Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I).

Sejarah mencatat pula konstribusi Ahmadiyah internasional untuk tanah air kita. Ketika Kemerdekaan Indonesia baru saja dikumandangkan, sebagai negara yang masih muda tentu membutuhkan dukungan serta pengakuan dari negara-negara lainnya, dan Ahmadiyah turut aktif mengkampanyekan hal ini ke seluruh dunia. Banyak tulisan-tulisan dalam surat kabar –yang ditulis tokoh-tokoh Ahmadiyah-  membentangkan sejarah perjuangan kita yang intinya untuk menyiarkan seluas-luasnya kemerdekaan yang baru saja dicapai bangsa Indonesia.

 Secara lebih Khusus, Khalifatul Masih II, Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad –pemimpin Ahmadiyah (Qadian) internasional ketika itu- memberikan seruan kepada seluruh pemimpin dunia Islam supaya mereka dengan serentak menyatakan sikapnya untuk mengakui berdirinya pemerintahan Republik Indonesia. Hal ini kemudian diiringi perintah spritual, agar para pengikut Ahmadiyah di seluruh dunia berpuasa tiap hari Senin-Kamis selama bulan September-Oktober guna memohon do’a kepada Allah untuk kejayaan Indonesia (Kedaulatan Rakyat, edisi Selasa Legi, 10/12/46).

            Perintah Pimipinan Ahmadiyah Internasional ini kemudian dijalankan Sayyid Shah Muhammad al-Jailani,  mubaligh Ahmadiyah Qadian untuk Indonesia. Melalui kegiatan-kegiatan sosialnya mendukung kemerdekaan, Shah Muhammad mulai dikenal Bung Karno.  Semenjak itu hubungan keduanya semakin erat dan di kemudian hari, atas jasa-jasanya, Shah Muhammad dianugerahi status kewarganegaraan Indonesia. Tokoh Ahmadiyah lainnya yang turut aktif dalam revolusi kita adalah R. Muhyidin –Ketua Pengurus Besar Ahmadiyah Qadian-. Karena aktivitasnya sebagai Sekretaris Panitia Perayaan Kemerdekaan tahun pertama di Ibukota RI, mengakibatkan beliau diculik tentara Belanda dan hingga kini hilang tak tentu rimbanya.

            Pada saat agitasi-agitasi anti Ahmadiyah sedang hangat-hangatnya di Pakistan tahun 50-an, di Indonesia sendiri Shah Muhammad tidak tinggal diam. Salah satu target serangan mullah-mullah Pakistan pada waktu itu adalah Zafrullah Khan, Menteri Luar Negeri Pakistan yang kebetulan adalah seorang ahmadi. Shah Muhammad kemudian menemui Mr. Jusuf Wibisono-tokoh Masyumi-. yang mengakui banyak membaca literatur-literatur Ahmadiyah, meski dirinya bukan seorang Ahmadi. Sebagai hasil dari pembicaraannya itu, Jusuf Wibisono menulis serangkaian karangan dalam Harian Mimbar Indonesia guna mengkritik pemerintah Pakistan, sebab Zafrullah sudah berjasa besar bagi dunia Islam dan untuk Pakistan sendiri.

            Tidak lama setelah tulisan-tulisan Jusuf Wibisono tersiar, Duta Besar Pakistan Untuk Indonesia, Choudry Muddabbir Husein mengakui kepada Shah Muhammad bahwa dirinya telah dipanggil menghadap Presiden Soekarno. Pada kesempatan itu Bung Karno menyalahkan serta menyesalkan Pemerintah Pakistan yang bersikap masa bodoh terhadap kejadian huru-hara anti Ahmadiyah dan Zafrullah Khan. Peringatan keras Bung Karno, dapat dilihat dari kata-katanya kepada sang duta besar, “Sampaikan segera kepada pemerintahmu,kalau Pemerintah Pakistan terus membiarkan keadaan itu berlarut-larut dan tidak berusaha mengatasinya dengan segera, maka kami akan meninjau kembali apa perlunya pemerintah Indonesia melanjutkan hubungan diplomatik dengan pemerintah semacam itu. (Sinar Islam, 1977).

Kedekatan Ahmadiyah terjalin juga dengan “Dwitunggal” lainnya, yakni Bung Hatta. Serupa dengan Bung Karno, tokoh proklamator ini mengenal Ahmadiyah melalui buku-buku dan tokoh-tokoh Ahmadiyah di Indonesia. Dan jika kita mau meneruskan ini, masih banyak peran serta kontribusi Ahmadiyah yang belum terungkap. Semisal bagaimana Departemen Agama kita mengutip buku “Pengantar Untuk Mempelajari Al-Qur’an,” karya Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, Khalifatul Masih II Ahmadiyah, untuk proyek tafsir Al-Qur’an  tanpa pernah menyebutkan sumbernya. Atau tokoh Arief Rahman Hakim –Pejuang Ampera- yang ternyata adalah seorang anggota Khudam, Pemuda Ahmadiyah.

Melihat kedekatan Ahmadiyah dengan founding fathers, pada gilirannya  membawa keprihatinan menyikapi para pejabat kita sekarang. Mengapa mereka tidak searif bapak-bapak pendiri negara ini ? Jawabannya terletak pada kualitas mereka sebagai pemimpin.

 

Penulis, Pemerhati masalah sosial dan agama, tinggal di Bandung

 

Dan Sejarah Itu pun Berulang…

Oleh : Ahmad Mukhlis Firdaus

“Inilah yang diajarkan oleh sejarah dan pengalaman: bahwa manusia dan pemerintahan tidak pernah belajar apa pun dari sejarah atau prinsip-prinsip yang didapat darinya.” Demikian seorang filsuf dari Jerman, Georg Wilhelm Friedrich Hegel mengemukakan dalam pemikirannya tentang sejarah

Kedatangan Isa Almasih as ditengah tengah orang Yahudi 2000 tahun yang lalu menghadapi penentangan yang luar biasa. Hal ini disebabkan dalam Taurat dikatakan kalau Elia (Nabi Ilyas as) akan datang untuk membukakan jalan bagi Messiah atau Mesias atau juga Almasih dalam sebutan Alquran sebagai juru selamat orang-orang Israil. Dalam kepercayaan orang-orang Yahudi waktu itu Nabi Ilyas as terbawa kereta perang kelangit dan hidup dilangit menunggu saat sampai kedatangan Almasih. Ketika Nabi Isa as, mendakwahkan dirinya sebagai Almasih yang dijanjikan orang-orang Yahudi mempertanyakan itu, dimana Elia (Nabi Ilyas as) yang datang sebelum Almasih. Nabi Isa as mengatakan kalau Yohanes Pembaptis (Nabi Yahya as) yang dimaksud dengan kedatangan kembalinya Nabi Ilyas as seperti yang disebutkan dalam Nubuwatan tersebut. Orang-orang Yahudi menolaknya karena menurut mereka Nabi Ilyas a.s (Elia) seharusnya datang dari langit. Nabi Yahya mengatakan bahwa ia bukan Ilyas as yang itu. Nabi Ilyas as sudah berlalu (wafat) jadi tidak mungkin ia akan kembali. Hal ini tentu saja tidak diterima oleh orang-orang Yahudi yang waktu itu meyakini kalau Nabi Ilyas masih hidup dilangit.

Pendakwahan diri Nabi Isa sebagai Almasih yang dijanjikan juga mendapatkan penentangan karena Almasih sang juru selamat yang diharapkan oleh orang-orang Yahudi adalah Almasih yang kuat, Almasih yang perkasa seperti Daud as yang bisa membunuh raksasa Goliath. Seperti yang diketahui, bangsa Yahudi dijajah silih berganti oleh berbagai bangsa. Pada saat kedatangan Nabi Isa as, bangsa Yahudi sedang dijajah oleh Bangsa Romawi. Orang-orang Yahudi berharap Almasih akan datang dan melepaskan mereka dari penjajahan Romawi. Namun Nabi Isa as mengatakan, sebagai Almasih tugasnya adalah untuk me-refresh ajaran-ajaran Taurat dan memberikan kabar gembira bagi kaum Israel karena kerajaan Allah sudah dekat, kedatangan seorang Nabi yang kuat diantara saudara-saudara bangsa Israel yaitu Bani Ismail di pegunungan paran tanah gurun Makkah seperti yang dikabarkan dalam Kitab Ulangan 12. Penolakan Nabi Isa as untuk memimpin orang-orang Yahudi untuk memeberontak inilah yang kemudian mendorong usaha-usaha pembunuhan terhadap Nabi Isa as untuk mencoba menunjukan Nabi Isa adalah nabi palsu, karena dalam Taurat dikatakan semua Nabi Palsu pasti akan mati terbunuh.

Pada saat ini umat Islam juga menunggu-nunggu kedatangan kedua kali dari Almasih. Kebanyakan umat Islam mempercayai kalau Nabi Isa as masih hidup dilangit dan akan turun sebagai juru selamat seperti yang di beritakan oleh YM Rasulullah SAW yang dapat kita temui dalam hadits-hadits mutawatir. Yang jadi pertanyaan, jika kita berkaca pada kisah nubuwatan kedatangan nabi Ilyas as sebelum kedatangan Almasih kita tentunya akan bertanya-tanya, mungkinkah sejarah akan berulang? Mungkinkan kita juga melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan orang-orang Yahudi dengan mengharapkan kedatangan sesorang yang hidup dilangit sehingga kita tidak mengenali ketika Almasih seperti yang di kabarkan oleh Rasulullah SAW datang.

Perbedaan mendasar antara main stream Umat Islam dengan Jemaat Ahmadiyah adalah perihal Nabi Isa as. Jemaat Ahmadiyah meyakini, Nabi Isa Ibnu Maryam yang dijanjikan sudah datang dalam wujud Mirza Ghulam Ahmad. Kalau dilihat dari kisah Nabi Isa as tesebut kita tentu saja akan melihat ada kemiripan. Mirza Ghulam Ahmad mendakwahkan diri sebagai Almasih yang dijanjikan bagi umat Islam, namun umat Islam menolaknya dengan alasan Almasih yang dijanjikan tersebut adalah Nabi Isa as yang hidup dilangit. Jadi Nabi Isa as dari masa kurang lebih 2000 tahun yang lalu yang akan datang kembali sebagai juru selamat umat Islam. Sementara menurut Jemaat Ahmadiyah Nabi Isa as dari keturunan bangsa Israil tersebut sudah wafat jadi tidak akan datang lagi kedunia ini. Sama halnya dengan janji kedatangan Nabi Ilyas sebelum Almasih datang ditengah-tengah bangsa Israil Isa ibnu Maryam a.s yang dijanjikan datang di akhir zaman adalah orang yang memilki sifat dan kedudukan yang sama seperti Almasih untuk ajaran Taurat yang merupakan Syariat yang dibawa oleh Nabi Musa as.

Kembali pada Kisah Nabi Isa as, terlepas dari kontroversi siapa yang disalib dan siapa yang menjalani persidangan tersebut, dari kisah-kisah Injil dalam penentangan umat Yahudi terhadap Nabi Isa as, beliau mendapat pembelaan justru dari pihak Romawi. Dan ironisnya Nabi Isa as dituduh akan melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Romawi. Pada saat pengadilan Nabi Isa a.s. di depan pengadilan Gubernur Judea, Pontius Pilatus berusaha membela Nabi Isa as dengan mengatakan Kalau ia tidak meilhat kesalahan pada orang ini. Usaha Pontius Pilatus juga tidak hanya sampai disini, dalam injil kita dapat temukan Pilatus menawarkan pembebasan Barabas yang seorang penjahat terhukum mati karena membunuh atau Nabi Isa as, tetapi orang-orang Yahudi lebih memilih untuk membebaskan Barabas ketimbang Nabi Isa as. Sampai akhirnya Pilatus menyerah dengan mencuci tangannya dan berkata ”aku suci dari darah orang yang benar ini”. Kisah ini menunjukan kepada kita bahwa pihak Romawi pada saat itu yang dalam hal ini adalah Pilatus sebagai otoritas Romawi di Jerusalem Yang mengejutkan, kejadian serupa juga dapat kita temui dalam kisah Mirza Ghulam Ahmad yang mendakwahkan dirinya sebagai Almasih bagi umat Muhammad SAW. Mirza Ghulam Ahmad juga mengalami hal yang kurang lebih serupa, beliau dituduh akan memberontak kepada pemerintah Inggris dengan mengatakan seseorang yang juga mengaku sebagai Imam Mahdi di Sudan pada masa itu juga melakukan pemberontakan. Sementara disisi lain Mirza Ghulam Ahmad juga dituduh menentang jihad terhadap Inggris yang saat itu menjajah India.

Melihat kemiripan kisah-kisah ini tentu saja kita akan langsung berpikir mungkinkah kejadian yang sama juga terjadi dengan kita dimasa sekarang? Mungkinkah kita juga melakukan kesalahan yang sama dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi? Tentu ini perlu dicari jawabannya.

Dalam menyikapi permasalahan Jemaat Ahmadiyah kita harus berhati-hati. Perlu dilakukan dialog, bahkan penelitian yang mendalam. Karena jika dalam menyikapi permasalahan ini kita gegabah dan langsung saja mencap Jemaat Ahmadiyah ini sesat tanpa memeriksanya terlebih dahulu, sementara ternyata pendakwahan diri Mirza Ghulam Ahmad adalah benar, maka kita tidak jauh berbeda dengan kaum Yahudi yang menolak kedatangan Nabi Ilyas (Elia) dan Almasih karena meyakini Nabi Ilyas a.s masih hidup dilangit. Disini kita perlu berhati-hati, karena YM Rasulullah SAW sudah memeperingatkan kita. Bahwa sampai diakhir zaman nanti umat Islam akan seperti umat yahudi dan nasrani sehasta demi sehasta sedepa demi sedepa.

Maka disini diskusi dan dialog yang intensif adalah jalan terbaik yang bisa kita lakukan. Pemerintah, lewat departemen agama dapat memfasilitasi bentuk-bentuk dialog mengenai perbedaan-perbedaan antara Jemaat Ahmadiyah dengan pemahaman mainstream muslim. Ini bisa dilakukan dengan mengadakan dialog tematis. Misalnya, dialog mengenai kewafatan nabi Isa a.s. Seperti yang telah disebutkan sebelunya, berbeda dengan pandangan mainstream umat Islam, jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa Nabi Isa a.s sudah wafat sementara mayoritas umat Islam meyakini kalau Nabi Isa a.s masih hidup dilangit. Dialog ini bisa dilakukan di media televisi dengan mengundang pakar-pakar dan para ahli yang terkait dibidang ini. Sehingga dengan demikian juga dapat memberikan sisi edukasi bagi masyarakat. Karena seperti yang kita ketahui, pelaku kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah adalah masyarakat awam yang terkadang tidak memiliki pengetahuan yang memadai mengenai perbedaan pemahaman ini.

TERPEROSOK KE LUBANG YANG SAMA

Oleh : Akhmad Faizal Reza

“L’histoire se repete” sebuah adagium Perancis yang artinya sejarah selalu berulang. Fenomena ini dapat menimpa masyarakat, kaum atau siapapun juga yang tidak dapat belajar dari sejarah, tak terkecuali umat Islam. ”Nothing new under the sun Artinya, tidak ada yang sama sekali baru di kolong langit ini. Boleh-boleh saja ilmu pengetahuan dan teknologi manusia semakin maju, tetapi ketika mereka mulai melupakan sejarah, maka mereka akan terjerumus pada kesalahan yang pernah dibuat nenek moyang mereka. Dan kesalahan inilah yang dipertontonkan belakangan ini di tanah air kita berkaitan dengan kasus Ahmadiyah.

Hanya karena memiliki penafsiran berbeda, terutama mengenai ranah kenabian, kita –yang mengatasnamakan umat Islam mayoritas- seakan-akan sudah mendapat mandat dari Allah Ta’ala untuk mengafirkan, menuduh sesat, merusak rumah peribadatan bahkan meneror para penganut Ahmadiyah. Padahal, menurut Ulil Abshar Abdalla, ”Dalam kalangan umat Islam sendiri, ranah kenabian adalah ranah yang tidak terlalu mendapat perhatian.” Artinya, hanya sedikit saja kajian atau pembahasan para ulama atau cendikiawan Islam mengenai ranah ini. Hal tersebut terjadi karena sebagian besar umat Islam –terutama ulamanya- menganggap bahwa ranah kenabian telah selesai. Dengan diutusnya Muhammad Saw, maka sempurnalah ajaran-Nya kepada seluruh umat manusia, dan berakhirlah mata rantai kenabian. Pada gilirannya, mereka kemudian menganggap bahwa Allah Ta’ala tidak lagi menurunkan wahyu. Atau dengan kata lain, Allah tidak berkata-kata lagi kepada umat manusia.

Sejatinya, jika kita mau menengok sejarah maka kita akan melihat kejadian seperti ini berulang kali terjadi. Seakan-akan sejarah dengan lantang mengatakan kepada kita, ”Tidakkah kalian memetik pelajaran dari masa lalu !?” Riwayat-riwayat yang terekam dalam Al-Qur’an semestinya merupakan pelajaran berharga bagi kaum Muslimin. Paham bahwa nabi dan rasul tidak mungkin lagi datang sesudah wafatnya Nabi Muhammad Saw bukanlah suatu pendapat baru. Ini merupakan pengulangan sejarah. Bukankah paham itu juga yang disuarakan kaum Nabi Yusuf a.s. setelah beliau wafat ? Kenabian Yusuf a.s. –seperti juga pada kenabian lainnya- ditentang keras oleh kaumnya. Tetapi, setelah beliau a.s. wafat, orang-orang yang menolak kenabian beliau menjadi sadar dan percaya kepadanya.Bahkan saking fanatiknya mereka kepada Nabi Yusuf a.s. sehingga mereka mengatakan, ”Sesudah beliau, Allah tidak akan pernah lagi mengangkat siapa pun yang akan menjadi rasul” (Al-Mu’min :35).Kaum Yahudi menyatakan hal senada sepeninggal Nabi Musa a.s. Mereka berpendapat bahwa Nabi Musa a.s. adalah nabi terakhir dan tidak akan ada lagi nabi sesudahnya. Dalam kitab Muslimus Subut, dikatakan, ”Kesepakatan Yahudi, ialah bahwa nabi tidak ada lagi sesudah Nabi Musa.(Jilid II, hal.170).

Seperti kita ketahui dari sejarah bahwa setelah Nabi Yusuf a.s. dan juga setelah wafatnya Nabi Musa a.s. Allah masih menurunkan atau mengutus nabi-nabi lainnya di tengah-tengah kaum Bani Israil. Namun, mereka kadung percaya bahwa pangkat kenabian telah berakhir. Akibatnya, sungguh tragis, anugerah kenabian yang diberikan Allah Ta’ala, justeru berbalik menjerumuskan mereka ke dalam azab yang pedih. Penolakan mereka terhadap kedatangan nabi-nabi lainnya, semisal Nabi Yahya a.s. dan Nabi Isa a.s. akhirnya menghancurkan peradaban dan kebudayaan Bani Israel. Gelombang penjajahan –bangsa Babilonia dan bangsa Romawi- penjarahan, meluluh lantakkan negara yahudi dan mencerai-beraikan serta mengusir rakyat dari tanah air mereka sendiri. Sebuah periode yang dikenal dengan nama Diaspora.

Ironisnya, peristiwa ini tidaklah menjadi pelajaran bagi kita. Sejarah itu mengajar atau ”historia docet” malah menjelma menjadi sejarah itu ”menghajar” kita hingga babak belur. Jalan yang ditempuh umat Yahudi pada derajat tertentu justeru diulangi lagi oleh kaum Muslimin. Dengan mudahnya kita menisbahkan cap sesat, kafir, dan bahkan mendemonisasi seseorang, atau sekelompok orang yang menganggap bahwa pintu kenabian masih tetap terbuka. Ahmadiyah bukanlah satu-satunya kasus. Pertanyaannya, apakah kita telah benar-benar meyakini dengan pendapat kita sendiri. Sebab, jika kita merujuk pada pelajaran yang terekam dalam Al-Qur’an maka semestinya kita tidak begitu mudahnya menisbahkan cap kafir, pengekor nabi palsu kepada mereka (baca : Ahmadiyah). Tidakkah kita takut terjerumus pada kesalahan sama yang dilakukan oleh umat-umat sebelumnya ? Jangan-jangan kitalah sebenarnya para pewaris pendeta Parisi yang justeru menyalibkaan Nabi Isa a.s.

Dengan sejarah pula kita mengenal tokoh-tokoh yang berani berbeda dengan kepercayaan mayoritas. Di kalangan kaum Yahudi, kita mengenal Maimonedes atau Musa bin Maimun. Seorang filosof Yahudi yang hidup sejaman dengan Ibn Rusyd ini berpendapat bahwa puncak kenabian sesungguhnya adalah Musa. Tetapi dimungkinkan akan datangnya kenabian minor. Kenabian minor, menurut penjelasan Ulil adalah kenabian yang muncul sebagai repetisi atau paling jauh penyempurna terhadap sebelumnya. Ia tidak sepenuhnya hadir dengan ajaran baru. Jadi Isa, Muhammad, serta Nabi-Nabi setelah Musa, dalam perspektif Maimonides hanya mengulang atau menegaskan ajaran yang telah dibawa Musa. Artinya, fenomena kenabian itu masih terus berlanjut. Di dalam kalangan Islam sendiri pun, di antaranya dari kalangan sufi, ulama, dan cendekiawan ada juga yang bersuara demikian, semisal Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi, Imam Sya’rani, Sayyid Waliyullah Muhaddist Al-Dahlawi, Imam Suyuthi dan lainnya.

Penulis sangat mengharapkan tulisan yang sederhana ini dapat memantik para cendekiawan, ilmuwan dan ulama Islam agar lebih mengedepankan akal –tentunya sembari tidak melupakan nash-nash Al-Qur’an serta hadits- dan mau belajar dari sejarah. Bukankah, akan lebih bijak jika kita menelaah dan mengkaji terlebih dahulu tema yang jarang disentuh ini sebelum kita menisbahkan tuduhan buruk kepada orang lain ? Jangan sampai kita menjadi seperti apa yang disampaikan Goethe, ”orang yang tidak dapat mengambil pelajaran dari masa tiga ribu tahun, hidup tanpa memanfaatkan akalnya.”wallahu’alam bissawab.

It’s a Common Room!

Common merupakan ruang tengah..

Ruang tengah menrupakan tempat berkumpul, bercengkrama, membangun kehangatan dan keharmonisan antar anggota keluarga…

Ruang tengah juga merupakan tempat para anggota keluarga untuk bermusyawarah dalam memutuskan suatu perkara penting dalam sebuah keluarga..

Ruang tengah sejatinya adalah tempat bercerita, berbincang-bincang atau berdiskusi para anggota keluarga mengenai kejadian, peristiwa, pemikiran atau bahkan permasalahan yang ditemui oleh setiap anggota keluarga dalam kehidupan kesehariannya..

Didalam ruang tengah, dialog merupakan sarana utama dalam memecahkan berbagai persoalan dalam tiap anggota keluarga…

Ini adalah islamic common room…ruang tengah bagi mereka yang percaya, dialog adalah cara paling baik untuk menyelesaikan permasalahan dalam keluarga besar Islam…